Chapter Text
1. Aku cuma pinjem dunia Harry Potter, dan beberapa karakter untuk pendukung cerita.
2. Beberapa hal disesuaikan kebutuhan cerita. Contoh, Durmstrang dan Beauxbatons yang sekolah yang juga menerima gender campuran.
3. Karakter utama Ilay, Taeui, Zhenya dan Taekjo milik masing-masing author. Karakterisasi mereka disesuaikan, dan mungkin agak keluar dari karakter asli.
4. Dan sebagainya.... Akan menyusul jika dibutuhkan
Chapter Text
.
: Jeong Taeui :
: Hufflepuff
: Pure-blood
Kayu: Cherrywood (kayu ceri)
Inti: Phoenix feather
Panjang: 11 ¼ inci
Fleksibilitas: Quite pliant
Karakteristik:
Tongkat ini sangat selaras dengan penyihir yang berjiwa keras kepala namun hangat, cocok dengan mereka yang berani melawan arus tapi tetap menghargai hidup. Phoenix feather memberikan kedalaman moral—mampu melakukan sihir hitam, tapi pemiliknya biasanya tidak condong ke arah itu kecuali terpaksa.
Notes: Tongkat ini agak sulit dikendalikan bila sang pemilik tidak jujur pada dirinya sendiri.
: Kwon Taekjoo :
: Gryffindor (Prefect)
: Half-Blood
Kayu: Oak (Quercus robur)
Inti: Dragon heartstring
Panjang: 12 ¾ inci
Fleksibilitas: Solid, slightly unyielding
Karakteristik:
Tongkat oak cocok untuk mereka yang gagah berani, penuh vitalitas, dan tak gentar menghadapi tantangan. Inti dragon heartstring menjadikannya tongkat yang kuat, mudah menyalurkan sihir tempur, namun agak keras kepala. Cocok untuk penyihir yang percaya diri dan penuh tekad.
Notes: Tongkat ini memiliki "karakter" tegas, enggan digunakan untuk tipu daya kecil—lebih cenderung untuk duel atau sihir ofensif.
: Ilay Riegrow :
: Durmstrang
: Pure-Blood
Kayu: Blackthorn
Inti: Basilisk horn shard (pecahan tanduk basilisk, sangat langka dan berbahaya; kemungkinan warisan keluarga Riegrow)
Panjang: 13 inci
Fleksibilitas: Rigid, almost unbending
Karakteristik:
Blackthorn dikenal sebagai kayu tongkat yang sering dipilih penyihir yang melalui kesulitan atau peperangan. Sering kali tongkat ini hanya benar-benar menyatu dengan pemiliknya setelah melewati perjuangan hidup-mati. Dipadukan dengan inti basilisk, tongkat ini nyaris mustahil digunakan oleh penyihir selain Ilay. Tongkat ini unggul dalam sihir terlarang, kutukan, dan kontrol, tapi juga mampu memberikan perlindungan yang hampir tak tertembus bila sang pemilik benar-benar ingin menjaga sesuatu atau seseorang.
Notes: Sebuah tongkat yang memproyeksikan kekuasaan sekaligus isolasi.
: Yevgeny Bogdanov (Zhenya) :
: Pure-Blood
: Beauxbatons
Kayu: Ebony
Inti: Thestral tail hair
Panjang: 12 ½ inci
Fleksibilitas: Supple but unpredictable
Karakteristik:
Tongkat ebony terkenal hanya cocok untuk mereka yang mandiri, ambisius dan kuat dalam kehendak. Inti thestral—sangat jarang—mencerminkan hubungan Zhenya dengan kematian dan trauma. Tongkat ini memiliki kekuatan luar biasa dalam sihir pertahanan dan penyembuhan gelap (dark healing), tapi juga dapat digunakan untuk sihir ofensif yang cepat dan berbahaya.
Notes: Tongkat Zhenya seakan "berdenyut" dengan energi misterius, sulit dipahami bahkan oleh penyihir berpengalaman.
.
.
.
⋇⋆✦⋆⋇
Siapa yang nangisin Passion dan Raga libur season? Angkat tangannya!!!
Kembali dengan genre fantasi, meski sebelumnya nggak sempurna, yakali nyerah. Kita coba lagi. Kali ini crossover.
Chapter Text
Sore itu, langit Hogwarts berwarna merah keemasan ketika denting bel kecil terdengar dari arah Hutan Terlarang. Suaranya bukan alarm, bukan pula panggilan bahaya. Nada riang itu justru membawa hangat, sebuah kebiasaan yang sudah akrab bagi banyak telinga.
Beberapa siswa yang berjalan santai di halaman refleks menoleh, wajah mereka langsung menyunggingkan senyum.
Dari balik pepohonan, meluncur sebuah sepeda terbang tua berwarna biru gelap dengan keranjang besi di depan. Di atasnya, duduk seorang siswa Hufflepuff dengan rambut cokelat berantakan, wajahnya wajahnya seterang matahari sore. Tangannya sibuk menekan bel di setang—tring... tring... tring—nada ringan yang konstan, seolah menyertai langkah musim gugur itu sendiri.
"Ah, itu dia lagi."
"Tay!" seru beberapa siswa, riang, seperti menyambut maskot tak resmi sekolah.
Taeui hanya mengangkat tangan, membalas dengan tawa ringan. Sejak tahun pertamanya di Hogwarts, ia sudah berhenti meluruskan kesalahan kecil pada namanya. "Jeong Taeui" terlalu asing di telinga kebanyakan orang; akhirnya, "Jeong Tay" melekat sebagai panggilan akrab.
Sepeda itu melayang turun, lalu mendarat kikuk di dekat deretan sapu terbang milik siswa lain. Tak seorang pun berani—atau bodoh—menaruh benda asing di sana. Tapi Taeui melakukannya tanpa keraguan, seakan-akan itu hal paling wajar di dunia. Sepeda terbang itu memang unik, hanya satu, hasil modifikasi ayahnya, hadiah ulang tahun ke-15.
Ia turun, menepuk setangnya, lalu mengangkat sebuah kotak besar dari keranjang depan. Kotak itu berdenting pelan, penuh boks kecil yang tertata rapi.
Tak butuh waktu lama, langkah-langkah bergegas terdengar mendekat. Seorang Ravenclaw muncul lebih dulu, disusul dua anak Gryffindor, lalu sekelompok Hufflepuff yang tertawa riang. Dalam hitungan detik, Taeui sudah dikerumuni seperti semut menemukan gula, mereka menatap penuh antusias pada kotak yang dibawanya.
"Shh-Charm Bottle by Jeong Tay," kata seorang Gryffindor, nyaris berbisik membaca tulisan di bawah kotak kemasan—meski senyumnya nyaris pecah.
Sebuah inovasi sederhana tapi brilian; botol minum yang sedang tren di kalangan Muggle, dilapisi mantra proteksi unik. Jika ada ramuan asing—baik ramuan prank, tonic, atau bahkan sesuatu yang lebih berbahaya—botol itu akan bereaksi. Bunyi "Shhh..." panjang akan terdengar, seperti teguran, dan tutupnya langsung menutup rapatdan cairan asing berubah jadi buih sabun berkilau tak berbahaya.
Tren itu menyebar cepat. Siswa merasa lebih aman dari prank bodoh, bahkan Kementerian Sihir memberi penghargaan resmi pada Taeui. Namanya kian dikenal, meski dirinya tampak selalu menyikapinya dengan senyum santai.
Namun bukan hanya botol itu yang membuatnya menonjol. Ada rangkaian benda-benda kecil lainnya—aneh, unik, dan tentu saja bermanfaat—hasil perpaduan pikiran kreatif dan sedikit keberanian untuk menentang batas Hogwarts.
Sling Pouch Anti-Niffler, tas mungil dengan repelling charm yang membuat Niffler—yang biasanya tergila-gila pada perhiasan—menjauh. Ada juga Moody Squishy, mainan kecil berbentuk hewan, disuntikkan sihir Lumos-lite sehingga bisa menyala lembut dan berubah warna mengikuti suasana hati pemiliknya. Benda itu jadi favorit para siswi, apalagi bila bentuknya disesuaikan dengan Patronus pribadi mereka.
Dan sekarang, murid-murid mengantri, menunggu gilirannya. Ada yang ingin membeli, ada yang hanya penasaran ingin melihat dari dekat. Suasana riuh, suara tawa bercampur dengan obrolan antusias, dan di tengah-tengahnya, Taeui berdiri dengan senyum lebar, sibuk melayani mereka satu per satu.
Di tengah keriuhan itu, seseorang mencondongkan tubuh, mendekat begitu dekat hingga napasnya terasa di telinga Taeui. Suaranya nyaris hilang ditelan kebisingan.
"Kau membawa yang itu, kan?"
Taeui menahan gerakannya. Senyumnya tetap menggantung di wajah, tapi matanya bergeser, menatap tajam sekilas. Sunyi sepersekian detik, lalu ia mengangguk samar. Hanya seulas senyum tipis yang muncul setelahnya, sebuah pengakuan tanpa kata. Saling paham.
Satu per satu murid terlayani. Riuh tawa berganti bisik kagum, hingga antrean terakhir bubar. Taeui menutup kotak kosongnya, melangkah bersama Tou—siswa berambut hitam yang sebelumnya membisikkan sesuatu ke telinganya.
Keduanya berjalan beriringan, seolah mengobrol ringan, tapi langkah mereka menjauh dari keramaian. Menyelinap di antara bangunan batu Hogwarts yang berlumut, menuju lorong yang lebih sepi.
Di sana, Taeui menoleh, memastikan tidak ada mata mengawasi. Lalu dari balik jubahnya ia mengeluarkan dua botol gelap, berisi cairan bening dengan label muggle yang sudah dipudarkan. Menyusul sebuah benda tipis memanjang dengan lampu kecil di ujungnya—vape, barang yang bahkan sebagian besar siswa wizard tak pernah tahu namanya.
Taeui menyerahkannya dengan cepat pada Tou, yang menerimanya dengan tatapan berkilat—campuran syukur dan konspirasi.
"Jangan sampai ketahuan," gumam Taeui, setengah bercanda, setengah peringatan.
Inovasinya mungkin membuatnya terkenal di kalangan murid, bahkan dipuji profesor. Tapi sisi lain dari dirinya—yang menyelundupkan benda-benda muggle, kadang berbahaya, kadang hanya untuk kesenangan nakal—hanya diketahui lingkaran kecil orang yang berani mendekat.
Reputasi resmi Jeong Taeui, penemu barang-barang proteksi yang bermanfaat. Reputasi diam-diamnya, penyedia benda-benda Muggle yang tak ada di daftar inventaris Hogwarts.
Lorong batu Hogwarts sore itu dipenuhi riuh suara siswa yang pulang kelas. Di antara mereka, Taeui dan Tou berjalan santai. Obrolan ringan melayang, tawa kecil menyela, kadang langkah mereka terhenti karena ada yang menyapa.
"Jeong Tay!" panggilan itu lagi, bersahutan dari segala arah.
Tou hanya terkekeh, geleng kepala. "Berani taruhan, namamu lebih sering disebut daripada nama kepala sekolah."
Taeui tertawa lepas, seolah tidak terbebani sama sekali oleh perhatian itu. Wajahnya hangat, ramah, berbeda jauh dari aura eksklusif kebanyakan anak berdarah murni. Ia lahir dari keluarga penyihir murni Asia, tapi tumbuh di tengah masyarakat Muggle. Pengetahuannya tentang tren non-sihir bukan hanya setara—bahkan lebih tajam, daripada sebagian besar anak kelahiran Muggle sendiri.
Dan yang membuatnya istimewa, dia tahu bagaimana menyalin tren itu ke dunia sihir. Sekali sesuatu disentuh oleh Jeong Taeui, benda itu berubah jadi tren. Apa pun yang dipakainya hari ini, besok dipakai semua orang.
Tou menepuk bahunya ketika mendengar langkah lain mendekat.
"Panggilan buatmu lagi. Aku duluan, Tay." Ia menyelip ke arah lain, meninggalkan Taeui yang baru menoleh.
Tiga anak Hufflepuff berlari kecil ke arahnya, masih dengan seragam olahraga kuning-hitam. Nafas mereka terengah-engah, keringat menetes di pelipis.
"Apa? Ada apa?" tanya Taeui, alisnya terangkat.
"Yuder—" ujar yang pertama, terpotong kehabisan nafas.
"Kakinya—" sambung yang kedua.
"Patah!" teriak yang ketiga.
Tiga kata pendek, tiga mulut berbeda.
"Kita—" ujar yang pertama lagi.
"Butuh—" lanjut yang kedua.
"Chaser!" pungkas yang ketiga, hampir serempak.
Taeui terdiam sebentar, lalu berbalik badan cepat. "Hmm... nggak."
Taeui tahu persis kemana arah pembicaraan jika dilanjutkan. Dan ia sudah jelas-jelas tidak ingin terlibat.
Tapi, mereka Hufflepuff. Pantang menyerah itu moto tak tertulis. Dalam sekejap, dua orang sudah meraih kedua lengannya, mengangkatnya ke udara. Yang ketiga menyambar kakinya, menopang dengan cekatan. Dalam sekejap, Taeui terangkat paksa.
"LEPAS! HEI! Aku bilang nggak mau!" Taeui meronta, teriakannya menggema di sepanjang lorong.
Sorakan dan siulan pecah dari siswa lain. Hogwarts sore itu menyaksikan The Wizard Trendsetter diangkut seperti karung gandum menuju Hospital Wing.
Hospital Wing lebih riuh dengan suara berisik khas Quidditch, sapu terbang bersandar di dinding, helm dan pelindung dilempar seenaknya di kursi, dan aroma balsem penyembuh bercampur dengan bau keringat.
Di salah satu ranjang, Yuder, Seeker tim Hufflepuff, berbaring dengan kaki berbalut perban putih. Di sampingnya berdiri Kishiar, kapten tim sekaligus prefek hufflepuff, terenyum penuh kepuasan begitu melihat Taeui dipaksa masuk oleh tiga rekannya.
"Tay." Kishiar membuka percakapan tanpa basa-basi, suaranya berat tapi hangat. "Kami butuh kau kembali. Untuk pertandingan besok lusa."
Taeui menatap Yuder sekilas, lalu berkata datar,
"Dia masih hidup. Masih bisa main. Quidditch pakai sapu, bukan jalan kaki."
Tawa meledak, meski Yuder mendengus setengah malu, setengah kesal.
Taeui sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Dirinya pernah melihat Muggle laki-laki bermain bola kaki dengan gips di kaki mereka, tanpa sihir penyembuh, tanpa keajaiban. Jadi bagi Taeui, seorang penyihir dengan kaki yang hanya patah sementara? Tidak terasa serius.
Kishiar mendekat, suaranya lebih rendah.
"Kalau kau tak mau jadi Seeker, gantikan posisi Chaser. Hufflepuff membutuhkanmu. Buktikan kesetiaanmu pada asrama."
Taeui menatapnya, lalu tersenyum miring.
"Aku setia pada diriku sendiri."
Perdebatan panjang berlangsung. Akhirnya, dengan napas pasrah, Taeui menoleh pada Yuder dan berkata pelan,
"Kalau kau mau mengulang hal ini lagi, lain kali pastikan bukan kakimu yang patah... tapi lehermu."
Tawa pecah di seluruh ruangan.
Dengan itu, Jeong Taeui resmi menyerah. Ia mengangkat tangan seolah takluk.
"Baiklah. Besok lusa aku jadi Chaser sementara. Setelah itu, selesai. Jangan harap aku mau lagi."
Kishiar menepuk bahunya dengan puas. Yuder masih cekikikan di ranjangnya. Dan Taeui, menatap langit-langit ruangan itu, hanya bisa bertanya-tanya, kenapa ia tak pernah benar-benar bisa lolos dari Quidditch—atau dari tekad keras sesama Hufflepuff.
✧༺✥༻✧
Malam itu, Common Room Gryffindor dipenuhi cahaya hangat yang menari-nari di dinding batu tua. Api di perapian berderak, menghembuskan percikan oranye yang berkilat lalu lenyap. Aroma kayu terbakar bercampur dengan wangi cokelat panas dan butterbeer, membuat ruangan terasa nyaman meski udara musim gugur menusuk di luar kastil. Poster-poster Quidditch berwarna merah emas masih menempel asal-asalan di dinding, beberapa bergoyang pelan akibat angin yang lolos melalui jendela tua berbingkai kayu.
Seperti biasa, ruangan itu penuh kehidupan. Di meja panjang dekat tangga asrama, beberapa murid tahun ketiga membungkuk dalam frustasi di atas PR Transfigurasi mereka. Suara bulu pena berdecit kasar memenuhi udara, diiringi keluhan lirih. Dari pojok lain, terdengar tawa riuh sekelompok anak kelas dua yang bermain Gobstones. Setiap kali cairan bau busuk memercik keluar dari bola, mereka menjerit geli sambil menutupi wajah, membuat suasana makin gaduh.
Di antara semua keramaian itu, seorang murid menonjol bukan karena berisik, melainkan karena keberadaannya selalu menarik perhatian. Kwon Taekjoo.
Ia duduk di sofa panjang dekat jendela, posisi setengah malas. Satu kakinya terlipat di bawah, satu lagi menjulur santai menyentuh permadani. Di tangannya, setumpuk kartu sihir bergambar naga, goblin, dan penyihir terkenal—sejenis permainan strategi populer di Gryffindor. Tiga murid lain duduk mengelilinginya, wajah mereka tegang seolah pertandingan itu adalah duel sungguhan.
"Ha! Kau terjebak. Lima langkah lagi dan kau kalah," celetuk salah satu lawannya, seorang murid kelas enam bertubuh jangkung. Ia mengibaskan kartunya dengan penuh percaya diri.
Taekjoo hanya mengangkat alis, sekilas melirik, lalu dengan gerakan santai meletakkan satu kartu di atas meja. Seketika, gambar naga pada kartunya menyemburkan cahaya merah yang menyambar kartu lawan, menelannya habis.
"Tidak perlu lima langkah. Satu saja cukup," ujarnya enteng.
Tawa langsung meledak dari sekeliling. Beberapa penonton yang sejak tadi memperhatikan ikut bersorak, meski permainan itu bukan pertandingan resmi. Kemenangan Taekjoo terlihat begitu mudah, nyaris tanpa usaha.
Sementara itu, dari dekat perapian, obrolan lain bergulir dengan cepat. Beberapa siswa senior berkumpul bersama adik-adik kelas, suara mereka meninggi penuh antusias.
"Katanya Triwizard Tournament bakal resmi diumumkan minggu depan," ucap seorang murid dengan nada dramatis.
"Kalau itu benar, Hogwarts butuh juara yang bisa diandalkan."
"Aku dengar batas usianya tinggi. Paling-paling hanya dua atau tiga orang di antara kita yang bisa maju."
Nama-nama mulai disebut. Seorang Chaser Hufflepuff dari tahun keenam yang dikenal atletis. Murid kelas tujuh yang jago duel. Bahkan ada yang bercanda menyebut seorang Ravenclaw kutu buku yang konon hafal semua mantra defensif. Suasana makin riuh.
Hingga tiba-tiba, seorang murid kelas lima yang duduk di kursi dekat perapian berseru lantang sambil menunjuk ke arah sofa jendela.
"Kalau begitu kenapa tidak Kwon Taekjoo saja? Prefek, seeker Quidditch, pintar, kuat. Dia jelas paling cocok jadi juara Hogwarts!"
Seruan itu membuat banyak kepala menoleh. Seketika, ruangan yang tadinya riuh mendadak pecah dalam sorakan bercampur tawa.
"Ya betul! Bayangkan, The Perfect Prefect membawa nama Hogwarts!"
"Aku setuju! Kalau dia maju, Gryffindor pasti menang!"
"Bukan cuma Gryffindor—seluruh sekolah akan bangga!"
Semua komentar itu bertubi-tubi mengarah pada satu orang, Taekjoo.
Awalnya, ia tetap fokus pada permainannya. Tapi ketika tatapan semakin banyak yang melekat padanya, ia akhirnya menurunkan kartunya. Ekspresinya tetap tenang, nyaris malas, tapi suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan.
"Turnamen itu bukan permainan kartu," katanya, ringan namun tajam. "Orang bisa mati di dalamnya. Kalau kalian pikir aku cocok, itu artinya kalian tidak cukup mengenalku."
Kalimat itu meluncur tanpa tekanan, seolah ia sedang membahas cuaca. Namun efeknya langsung terasa. Beberapa murid terdiam. Yang lain saling melirik, tidak yakin bagaimana harus merespons. Tapi hanya sesaat. Gelombang tawa kembali pecah, menutup ketegangan yang sempat menggantung.
"Justru itu alasannya, Taekjoo! Kau selalu bikin yang mustahil terlihat gampang."
"Aku akan bertaruh sepotong cokelat Honeydukes kalau kau yang akhirnya terpilih!"
Taekjoo tidak menanggapi lagi. Ia hanya mengangkat bahu tipis, menaruh kartunya, lalu meneguk butterbeer hangat yang entah sejak kapan sudah ada di sampingnya. Sekilas senyum tersungging di bibirnya, santai, hampir malas. Tapi matanya sempat menatap perapian. Pandangan itu berbeda—serius, dalam, seperti menyimpan rahasia.
Karena meski ia tampak tenang, di dalam kepalanya, nama Triwizard Tournament bukan sekadar candaan. Ia tahu cerita lama—tentang tantangan mematikan, reputasi besar, dan harga yang selalu harus dibayar mahal.
Dan di malam penuh tawa itu, tanpa ada yang benar-benar menyadari, rumor yang awalnya hanya obrolan iseng perlahan melekat pada satu nama—Kwon Taekjoo.
Julukan 'The Perfect Prefect' awalnya hanyalah ejekan.
Pagi-pagi di Gryffindor Tower biasanya berantakan, murid-murid masih remuk redam, ada yang setengah mati mencari kaus kaki, ada yang baru sadar PR ramuan belum selesai. Namun Taekjoo berbeda. Ia bukan tipe yang rajin membangunkan orang atau merapikan ranjang. Ia bangun, mandi cepat, mengikat dasinya asal—tapi tetap terlihat karismatik. Rambutnya hanya disisir seadanya, namun entah bagaimana selalu tampak rapi. Usaha minim, hasil maksimal.
Di ruang makan, ia duduk di ujung meja Gryffindor. Teman-temannya ribut bercanda, sering kali hampir memicu pertengkaran dengan meja lain. Tapi cukup satu tatapan Taekjoo, keributan itu reda.
"Hei," ucapnya suatu pagi, dengan nada santai namun penuh tekanan. "Kalau mau ribut, pastikan dulu kau cukup pintar untuk menang. Kalau tidak, jangan buang waktu kami."
Komentar seperti itu, meski tajam, selalu disambut tawa. Karena memang begitulah Taekjoo, ucapan yang seharusnya menyebalkan entah bagaimana terdengar lucu.
Di kelas, ia tidak pernah terlihat rajin. Tidak menyalin catatan panjang, tidak menunduk serius. Tapi ketika profesor tiba-tiba menunjuknya, jawabannya nyaris selalu tepat. Level kepercayaan diri: infinity. Banyak yang kesal—atau kagum—bagaimana nilainya tetap bagus tanpa terlihat bersusah payah.
Selepas kelas, tempat favoritnya jelas, lapangan Quidditch. Sebagai Seeker Gryffindor, ia sering terlihat melayang santai di udara, seolah permainan itu hanyalah hiburan. Namun tiba-tiba saja, ia menukik tajam mengejar Snitch, manuver berbahaya yang membuat penonton menahan napas. Sapu terayun nyaris menyentuh tanah, namun ia selalu naik lagi dengan senyum tipis, seakan tidak ada yang serius terjadi.
"Dia gila," komentar seorang murid.
"Ya. Gilanya keren," balas yang lain.
Karisma Taekjoo tidak berasal dari nilai tinggi atau kerapian. Ia punya aura pemimpin alami. Jika ada masalah, murid Gryffindor selalu berkata, "Jika Kwon Taekjoo di pihakmu. Ia tidak akan memanjakanmu, tapi ia akan memastikan kau tidak jatuh."
Malam hari, saat piket Prefek, ia bukan tipe pengawas kejam. Bertemu siswa yang melanggar aturan, ia hanya berkata,
"Aku bisa serahkan kau ke Filch, atau kau bisa jalan lurus ke asramamu dalam lima detik. Pilihlah."
Entah kenapa, ancaman sederhana itu selalu lebih efektif daripada sepuluh poin hukuman.
Namun di balik itu semua, ada sisi pribadi yang jarang diketahui. Ayahnya, seorang Auror, meninggal bahkan sebelum sempat menimangnya. Taekjoo dibesarkan oleh ibunya, seorang muggle sederhana, yang menatap dunia sihir dengan kagum sekaligus cemas. Dari ibunya, ia belajar kesabaran. Dari bayangan ayahnya, ia menyalakan cita-cita; suatu hari menjadi Auror.
Itu sebabnya, meski terlihat santai, Taekjoo menyimpan prinsip yang keras. Ia benci arogansi. Lidahnya tajam bila aturan diinjak. Pernah, seorang Slytherin berkomentar sinis soal ibunya, menyebutnya "muggle tak berguna." Taekjoo tidak berteriak. Ia hanya menoleh, melangkah maju, dan memberikan satu pukulan bersih yang membuat lawannya jatuh. Hasilnya: seminggu detensi. Tapi di mata banyak orang, itu menegaskan siapa Taekjoo sebenarnya.
Hari-harinya padat. Bukan padat belajar, tapi padat eksistensi. Prefek, Seeker, teman yang bisa diandalkan, pemimpin yang selalu punya jawaban.
Maka julukan The Perfect Prefect bukan lagi sekadar ejekan. Itu pengakuan.
Karena di Gryffindor—dan mungkin di seluruh Hogwarts—sulit mencari orang yang bisa menggantikannya.
Notes:
*Muggle/non-magic, manusia tanpa kemampuan sihir.
*Niffler, muncul di Fastastic Beast. Hobi nyolong benda berkilau, uang, perhiasan, dll.
*Lumos, mantra untuk menghasilkan cahaya
*Gobstones, sejenis boardgames
*Quiddict, olahraga di dunia Harry Potter
Btw, Perlu dikasih notes nggak setiap babnya?
Chapter Text
Aula Besar pagi itu berbeda dari biasanya. Lilin-lilin yang melayang di langit-langit bergetar halus, cahayanya lebih terang daripada biasanya, seolah ikut menyambut sesuatu yang istimewa. Bendera-bendera rumah—Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin—terentang dengan gagah. Meja panjang tiap asrama penuh, tapi piring emas masih berjejal makanan yang tak tersentuh. Tak seorang pun peduli sarapan; seluruh perhatian tertuju ke panggung depan, tempat Profesor Dumbledore berdiri, sorot matanya lembut namun penuh wibawa.
"Anak-anakku yang terkasih," suaranya bergema lembut, mengalir menembus kerumunan. "Tahun ini, Hogwarts akan menjadi tuan rumah sebuah acara yang sudah lama ditunggu—Turnamen Triwizard."
Sorak sorai meledak seketika. Gryffindor bersorak paling keras, beberapa siswa berdiri sambil menepuk meja. Dari arah Hufflepuff terdengar peluit bersahutan, sementara Ravenclaw bertepuk tangan dengan rapi. Di meja Slytherin, tepuk tangan terdengar lebih terkendali, tetapi senyum puas mereka jelas terbaca.
Namun riuh itu mereda begitu Dumbledore mengangkat tangannya.
"Hari ini," lanjutnya, "tamu-tamu agung kita akan tiba."
Pintu besar Aula berderit terbuka. Hembusan angin musim gugur menyusup masuk, membawa aroma lembab dari halaman kastil. Lalu—derap langkah kuda raksasa terdengar dari luar. Semua kepala serentak menoleh.
Kereta Beauxbatons meluncur masuk halaman kastil—besar, mega, biru pucat, ditarik oleh kawanan kuda bersayap setinggi gajah. Begitu pintunya terbuka, barisan siswa-siswi Beauxbatons melangkah dengan anggun bagai arak-arakan bangsawan dari negeri dongeng. Seragam biru muda, topi lebar khas Prancis, mereka berkilau lembut diterpa cahaya lilin. derap langkah ringan seirama, nyaris menari, menimbulkan desahan kagum dari para siswa Hogwarts.
Di barisan terdepan berjalan seorang pria tinggi menjulang, setidaknya dua meter. Rambut pirang keemasannya jatuh rapi, memantulkan cahaya lilin, sementara mata birunya berkilat tajam—jernih, tapi menusuk. Posturnya tegap, aristokratik, dan emblem Kapten Quidditch yang tersemat di dadanya, seakan menegaskan bahwa dia bukan sekadar wajah indah.
Taeui, yang duduk di meja Hufflepuff tak jauh dari Gryffindor, tanpa sadar tertegun. Pandangannya terpaku cukup lama hingga roti yang ia pegang mendingin di tangannya.
"Whoah...Indah sekali," gumamnya lirih, lebih kepada diri sendiri ketimbang orang lain.
"Indah kan?" suara sinis datang dari meja Gryffindor, tak jauh darinya. Seorang siswa Gryffindor berambut cokelat mencondongkan tubuhnya, menatap Taeui dengan alis terangkat. "Kau punya mata yang bagus, Tay. Tapi lebih baik lupakan. Dia Zhenya, Physco Veelan't."
"Physco Veelan't, hal apa itu?" Seorang Gryffindor lain menyambar dengan nada bercanda.
"Sssst.... Jangan keras-keras," Siswa itu mencondongkan tubuh lebih dekat, menurunkan suaranya, sebelum menyambung, "Psyco Veelan't—plesetan antara Veela dan Villain. Dia tidak punya darah Veela, tapi pesonanya..." Ia mengangkat dua jempol, enggan melanjutkan kalimat.
Beberapa anak terkekeh gugup. Mereka paham maksudnya. Pesona Zhenya, bukan keindahan yang menenangkan; melainkan keindahan berbahaya, seperti lukisan indah yang bisa menelanmu hidup-hidup.
Sementara bisik-bisik tentang Zhenya terus bergaung, suara berat lain bergema dari luar.
Dari jendela-jendela tinggi, tampak sesuatu bergerak di danau. Sebuah kapal hitam yang besarnya setara istana naik perlahan dari dalam air. Tiang-tiangnya menjulang, layar lusuhnya terkembang, semburan air berhamburan, kabut tebal mengikutinya. Murid-murid bersorak, sebagian berdiri di kursi agar bisa melihat lebih jelas.
Dan tak lama, langkah berat menggema di aula. Rombongan Durmstrang masuk. Mereka mengenakan jubah merah darah dengan bulu gelap melingkari pundak. Langkah serempak, keras, penuh disiplin militer. Mereka bukan rombongan pelajar—mereka bagai pasukan perang.
Di depan, Caesar Sergeyev berjalan tegap. Setiap langkahnya penuh kuasa, bahu lebar, jas hitam khas aristokrat dengan detail elegan. Tatapan matanya dingin, seperti menilai setiap sudut ruangan. Wajahnya tampan tapi keras, dengan garis rahang tegas dan senyum tipis yang tak pernah tulus. Beberapa siswa Hogwarts berbisik, suara mereka nyaris serempak;
"Dia benar-benar seperti... mafia."
"Aku dengar keluarganya terlibat jaringan bawah tanah di Rusia."
"Kalau rumor itu benar, kenapa bisa jadi kepala sekolah?"
Namun bisik-bisik itu segera tenggelam saat seorang siswa Durmstrang lain muncul di barisan paling belakang—Mad Rick.
Rambut pirang keperakan jatuh berantakan, wajahnya pucat dingin, kontras dengan sarung tangan hitam yang membuat kedua tangannya tersembunyi. Tidak ada senyum, tidak ada gestur emosi, hanya tatapan datar yang membuat bulu kuduk merinding.
"Dia itu... Rick, kan?" suara seorang Gryffindor di belakang Taeui tercekat.
"Yang katanya pernah membunuh gurunya sendiri?" sahut siswa Hufflepuff lain setengah berbisik.
"Bukan cuma itu," timpal siswa lain. "Ada yang bilang dia duel dengan tiga penyihir senior sekaligus... dan menang. Sendirian."
Taeui yang mendengarkan obrolan itu merasakan tenggorokannya kering. Ia menelan ludah, membungkuk pada Taekjoo yang duduk di meja Gryffindor tak jauh darinya.
"Rumor bisa saja berlebihan, kan?" katanya, ia bersuara hati-hati. "Mereka cuma siswa... Sama seperti kita."
"Tidak sama," sela seorang Gryffindor yang duduk dekat Taekjoo. "Dia tidak membiarkan siapa pun memanggil nama pertamanya. Belum lagi, sarung tangan hitam itu? Katanya, karena tangannya ternodai—dengan darah atau dengan kutukan. Tidak ada yang tahu pasti."
Nama Rick berbisik ke segala arah, penuh spekulasi. Apakah ia jenius sihir gelap, atau hanya monster dengan wajah manusia? Tatapannya saja cukup membuat beberapa Ravenclaw menelan ludah keras-keras. Slytherin? Mereka mendesah kagum—beberapa tampak menemukan idola baru.
Taekjoo menyengir tipis, mengunyah roti. "Kalau semua rumor itu benar," katanya santai, "Turnamen ini akan lebih gila daripada Piala Dunia Quidditch."
Begitu rombongan Beauxbatons dan Durmstrang menempati meja panjang yang telah disiapkan, riuh rendah bisikan mulai mereda. Semua mata kini beralih ke meja guru, tempat Dumbledore berdiri dengan tenang. Tangannya terangkat dengan sikap tenang namun penuh wibawa, lilin-lilin di atas aula bergetar seolah merespons.
"Selamat datang di Hogwarts," suaranya bergaung, dalam dan hangat, memenuhi setiap sudut aula. "Malam ini, kita mendapat kehormatan menerima sahabat-sahabat lama kita, dari dua sekolah sihir besar di Eropa—Beauxbatons dan Durmstrang."
Tepuk tangan membahana.
Dumbledore memberi isyarat ke arah meja Beauxbatons. "Izinkan aku memperkenalkan kepala sekolah Beauxbatons, Tuan Ivan Lomonosov."
Seorang pria tiga puluh tahunan. Rambut hitam, wajah panjang dengan garis halus penuh wibawa, jubah biru gelap dengan bordiran emas yang elegan. Ia membungkuk halus, menerima tepuk tangan hangat yang diberikan para siswa Hogwarts.
Dan lalu, Dumbledore menggeser tangan ke arah meja Durmstrang. "Serta, dari Durmstrang—kepala sekolah, Tuan Caesar Sergeyev."
Caesar berdiri, hanya mengangguk singkat. Namun gerakan sederhana itu memancarkan aura berat yang membuat sebagian siswa menahan napas.
Taeui yang duduk di meja Hufflepuff menelan ludah, matanya bergulir cepat dari Ivan ke Caesar. Ia bisa mendengar beberapa Gryffindor di belakangnya berbisik, membandingkan kehangatan Ivan dengan sikap kaku Caesar.
“Yang satu seperti mafia… yang lain seperti hakim.”
Namun Dumbledore belum selesai. Kedua tangannya terangkat kembali, menarik fokus semua yang hadir. Semua rumor yang selama ini beredar di koridor kini akhirnya terbukti nyata.
"Turnamen ini telah lama menjadi ajang untuk menguji keberanian, kecerdikan, dan kekuatan para penyihir muda dari tiga sekolah sihir terbesar di Eropa. Namun, karena tingkat bahaya yang tinggi, turnamen ini juga dikenal sebagai salah satu kompetisi paling berisiko dalam sejarah dunia sihir. Maka, hanya penyihir yang berusia tujuh belas tahun atau lebih yang diperbolehkan mendaftar."
Beberapa siswa mengeluh kecewa, terutama dari tahun keempat dan kelima.
Dumbledore kemudian menoleh, dan dengan isyarat tangan, pintu aula terbuka. Masuklah Profesor McGonagall dan Profesor Flitwick, keduanya menuntun sebuah benda besar yang tampak kuno.
Itu adalah sebuah piala kayu tua, tinggi, dengan ukiran kuno yang berkilau samar oleh cahaya biru api yang menari di dalamnya. Aura magisnya begitu kuat hingga seluruh aula ikut bergetar halus.
"Anak-anakku," ujar Dumbledore sambil menunjuk ke arah piala tersebut, "inilah Goblet of Fire. Piala Api yang akan memilih juara dari masing-masing sekolah. Setiap siswa yang memenuhi syarat boleh menuliskan namanya pada secarik perkamen dan memasukkannya ke dalam api suci ini. Dalam tiga malam, Goblet akan menimbang hati, keberanian, dan kekuatan dari setiap kandidat... lalu hanya satu nama dari tiap sekolah yang akan ia pilih."
Seketika riuh kembali memenuhi aula. Ada yang bersemangat, ada yang gusar, dan ada pula yang langsung mulai menebak-nebak calon juara.
Di meja Gryffindor, beberapa siswa langsung menoleh ke arah Taekjoo. Seorang teman setim Quidditch menepuk bahunya sambil berbisik keras, "Taekjoo, Kalau bukan kau, siapa lagi yang pantas?"
Taekjoo hanya tersenyum kecil, tidak menyangkal, tapi juga tidak menanggapi serius. Ia meraih cangkirnya lagi, sementara tatapan beberapa siswa lain masih melekat padanya.
Sementara itu di meja Hufflepuff, Taeui yang sempat terpana oleh api biru Goblet of Fire justru lebih sibuk mengamati wajah-wajah di sekelilingnya. Ia mendengar nama Taekjoo disebut berulang kali dari berbagai sudut aula, bahkan beberapa siswa lain mulai menyebut nama Zhenya dan Rick dengan nada serius.
"Merinding, ya..." gumam Taeui pelan. "Seolah piala itu bisa benar-benar melihat isi dirimu."
"Bukan sekadar melihat," suara dari belakangnya ikut menyahut, "tapi juga menilai apakah kau layak berkorban untuk menang."
Taeui menoleh, dan tanpa sadar matanya kembali menatap ke arah meja Durmstrang, di mana Rick duduk diam dengan sikap dingin, seakan dunia di sekitarnya tak berarti.
✧༺✥༻✧
Siang itu, Hogwarts seolah hidup dengan denyut yang lebih cepat dari biasanya. Cahaya matahari musim gugur menembus kaca jendela setinggi langit-langit, jatuh deras ke lantai batu abu-abu yang dingin, membentuk garis-garis emas seakan menyulam bayangan para siswa yang lalu-lalang. Udara Oktober yang sejuk menempel lembut di kulit, membawa aroma samar dedaunan kering yang terhempas angin dan bercampur dengan bau lilin serta perkamen tua dari dalam kastil.
Hari itu berbeda, bukan hanya karena musim, melainkan karena hiruk pikuk para tamu. Murid-murid dari Beauxbatons dan Durmstrang menjejali lorong-lorong. Suara asing berbaur dalam udara: Prancis yang ringan, Rusia yang berat, bahkan logat Jerman Timur yang kaku. Semua itu bercampur dengan percakapan sehari-hari murid Hogwarts, menciptakan suasana riuh yang asing sekaligus menegangkan.
Rombongan siswa baru saja bubar dari kelas Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam bersama Professor Lupin. Topik tentang Boggart dan Patronus membuat banyak murid masih tampak bersemangat. Sebagian sibuk berdebat bentuk Boggart yang paling menggelikan, sementara yang lain heboh membicarakan kegagalan memunculkan cahaya Patronus yang layak. Koridor menuju Aula Tengah mendadak riuh, seolah menjadi arena perayaan kecil yang bergerak ke segala arah.
Potret-potret di sepanjang dinding menambah bisingnya suasana. Seorang bangsawan tua dengan janggut panjang bergumam kesal soal “kompetisi murahan” sambil menyilangkan tangan, sementara di bingkai sebelah, penyihir muda dengan wajah berseri-seri malah berteriak memberi semangat pada siapa pun yang lewat.
Di tengah keramaian itu, Taeui berjalan santai bersama teman sekelasnya. Tasnya tersampir sembarangan di bahu, masih mengingat samar suara Professor Lupin yang menjelaskan tentang Patronus, meski suara tawa di sekitarnya jauh lebih mendominasi.
"Eh, Tay," seorang teman emnyenggol pelan pudaknya, "kalau Patronus-mu keluar kira-kira bentuknya apa?"
Belum sempat Taeui menjawab, suara lain menyambar. “Patronus Tay pasti kucing malas. Tukang tidur seharian.”
Rombongan langsung meledak tawa.
Taeui mendengus, bibirnya melengkung geli.
“Mbeeek… Patronusmu kambing, Alta.” Ia menekankan kata kambing dengan nada penuh ejekan. Tawa pun semakin keras menggema di lorong, membuat beberapa potret mengerutkan kening.
Obrolan bergulir liar, tanpa pola. Dari belakang, ada yang berseru, “Hei, Tay, kau lihat wajah Tou saat Boggart-nya jadi banshee? Lebih seram dari banshee asli!”
“Bukan banshee, bodoh, itu vampir!” sahut yang lain, memicu adu mulut kecil yang malah memancing tawa baru.
Sementara dari arah Ravenclaw, suara lantang ikut menimpali, “Ngomong-ngomong, aku dengar murid Beauxbatons bisa pakai sihir tanpa tongkat! Tay, kau percaya begitu?”
Belum sempat Taeui menanggapi, seorang Ravenclaw lain menyelutuk dingin, “Itu cuma rumor. Tapi kalau Goblet memilih, kemungkinan besar salah satu dari mereka.”
“Jangan pesimis begitu!” balas seorang Hufflepuff. “Bagaimana kalau justru Tay yang maju?”
Serentak beberapa suara bersorak main-main.
“Ya, betul! Champion dari Hufflepuff!”
“Bayangkan, nama Tay keluar dari Goblet! Seluruh Hogwarts terkejut!”
Taeui mengangkat kedua tangan, setengah mengeluh, setengah menahan senyum.
“Kumohon, berhenti memanggilku—”
“Tay! Taaaay! Selamatkan Quidditch Hufflepuff lagi!” sahut seseorang, dan tawa pun kembali meledak.
Tawa dan candaan masih terdengar, nama “Tay” bergema dari berbagai sisi yang ditanggapi seadanya dengan nada yang sama santainya—sampai suara lain, berbeda dari semua itu, memecah keramaian.
“Jeong Taeui.”
Lengkap, jelas, dan tanpa keraguan.
Langkah Taeui terhenti. Ia menoleh, matanya segera menemukan sosok Ilay yang bersandar pada salah satu tiang batu. Rambut pirang keperakan itu tertimpa cahaya siang, berkilau dingin, menimbulkan kontras dengan tatapan matanya yang tajam dan tak beralih sedikit pun. Panggilan itu bukan sapaan akrab, bukan pula lelucon seperti suara-suara lain tadi. Ada sesuatu di dalamnya—lebih mirip seperti sebuah pernyataan, sebuah klaim.
Lorong yang tadinya riuh seketika meredup. Beberapa siswa dari rombongan otomatis ikut menoleh, lalu saling bertukar tatapan. Rasa tegang yang tak kasat mata mengisi udara. Sebagian berhenti di tempat, sebagian lain perlahan mundur, memilih berbelok ke arah berbeda. Ada yang memasang wajah siaga, menunggu percikan kecil yang bisa jadi awal perselisihan.
Taeui berdiri tegak, pandangan matanya bertemu langsung ke arah Ilay. Bukan tatapan defensif.
"Ya, kau memanggilku?" Tanyanya.Nada santainya tetap sama, seperti saat ia menjawab candaan teman-teman tadi. Ia tidak bereaksi berlebihan, tidak juga membiarkan atmosfer tegang itu menelannya.
Keheningan jatuh.
Begitu kental sampai terdengar jelas suara sepatu murid-murid lain di ujung lorong. Beberapa rekannya tampak menunggu, mengernyit bingung seolah menyangka akan ada percikan kecil yang bisa memicu sesuatu lebih besar.
Namun, tidak ada yang terjadi. Ilay tetap menatap, tak berkata apa pun.
Dan tepat ketika ketegangan itu mencapai puncaknya, suara lain menerobos.
“Taeui-ya! Jeong Taeui”
Nyaring, lantang, fasih dalam intonasi Korea yang benar. Suara Taekjoo dari arah seberang koridor, nada suaranya lebih hidup, berbeda sekali dengan Ilay. Ia melambaikan tangan, melambai dari kejauhan. Di belakangnya, gerombolan tim Quidditch Gryffindor tertawa gaduh entah karena apa, menambah riuh yang tiba-tiba terasa janggal di tengah keheningan tadi.
Taeui menoleh, lalu mengangguk kecil ke arah Taekjoo. Lalu pandangannya kembali pada Ilay sejenak—seolah ingin bertanya tanpa kata, 'apa yang ingin kau sampaikan?'
Senyum tipis muncul di bibirnya, sekilas saja. Lalu dengan nada santai ia bergumam,
“Kalau tidak ada yang perlu dikatakan… aku pergi dulu.”
Ia melangkah melewati Ilay. Tubuhnya tegak, langkahnya tenang, seakan pria itu hanya bagian dari dinding dingin kastil. Beberapa teman langsung menyambutnya dengan canda baru, dan dalam hitungan detik ia kembali larut dalam lingkaran Gryffindor yang tertawa keras.
Ilay tetap diam di tempatnya. Lengan bersedekap, telunjuk kanan mengetuk perlahan ke lengannya sendiri—ritmis, nyaris tak terdengar. Seperti seseorang yang sedang menimbang sesuatu yang belum waktunya diungkapkan. Tatapannya tetap membuntuti punggung Taeui lama, bahkan ketika suara riuh murid-murid kembali memenuhi lorong.
Lorong kembali ramai, tapi bayangan keheningan itu menggantung lebih lama dari suara riuh yang menyusul.
✧༺✥༻✧
Lorong-lorong Hogwarts mulai lengang. Cahaya obor yang menempel di dinding bergetar halus, menciptakan bayangan panjang yang menari di lantai batu. Sesekali, angin malam menyusup dari celah jendela, membawa aroma lembap dedaunan yang terhampar di halaman kastil.
Suara langkah sepatu bergema pelan di tangga utama—ritmis, mantap, seperti denyut waktu yang mengisi keheningan. Taekjoo muncul, mantel hitamnya jatuh rapi hingga betis, badge Prefek berkilat di dada, memantulkan cahaya obor. Ia menuruni anak tangga dengan sikap penuh wibawa, meski wajahnya tetap tenang, siap untuk menjalankan piket malam bagai rutinitas.
Di ujung koridor, sebuah bayangan menyandarkan tubuh pada tiang batu. Jeong Taeui. Tangan terlipat santai di dada, kaki kanan menyilang di depan kaki kiri. Dari jauh saja sudah tampak jelas: ia tidak berniat sembunyi dari siapa pun.
“Bukannya kamu seharusnya di asramamu jam segini?” tegur Taekjoo, suaranya datar tapi tak mengurangi kesan mengawasi. Langkahnya tidak terhenti, dan saat ia melewati tiang itu, Taeui pun ikut bergabung, berjalan di sisinya.
Taeui mengedikkan bahu. “Kau juga sering lihat aku di jam segini, kan. Aku nggak berbuat macam-macam.” Nada suaranya santai, tapi matanya berkilat samar di bawah cahaya obor, seakan ada sesuatu yang tidak ia ucapkan.
Taekjoo mendengus pendek, meski bibirnya mengulas senyum samar. “Aku nggak heran. Dan kalau suatu hari kau benar-benar lenyap ke dalam Hutan Terlarang dan tidak kembali, itu bukan sesuatu yang mengejutkan.”
Alih-alih membalas dengan tawa atau protes, Taeui justru melirik sebentar, lalu berkata pelan, “Kau ingin ikut Turnamen?”
Pertanyaan itu jatuh begitu saja, tapi di udara hening koridor, nadanya terdengar lebih berat daripada seharusnya.
Taekjoo mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. “Gosip jalan lebih cepat daripada burung hantu di Hogwarts.” Ia menoleh sekilas ke arah Taeui, matanya jernih tapi menyimpan lapisan lain yang sulit diterjemahkan. “Aku belum memutuskan. Dan belum tentu namaku yang keluar dari Piala, kan?”
Taeui mengangguk tipis, lalu menunduk sebentar, jari-jarinya menggambar garis acak tak kasat mata di udara. “Kalau pun kau memutuskan... aku cuma berharap kau nggak melakukannya karena dorongan sesaat. Turnamen ini... bahaya.”
Ia tidak menyebut nama, tapi tekanan halus dalam ucapannya terasa. Ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang membuat kalimat sederhana itu terdengar seperti peringatan.
Taekjoo memperhatikan sahabatnya itu, alis terangkat. “Kedengarannya kau bicara seolah sudah tahu siapa ‘orang-orang’ itu.”
Taeui menatap balik, kali ini dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. “Aku tahu cukup untuk berharap kau berhati-hati.”
Hening menyelip di antara langkah mereka. Dari lantai bawah, samar-samar terdengar suara tawa beberapa siswa yang baru kembali ke asrama, lalu hilang ditelan jarak.
Akhirnya Taekjoo menghela napas. Ia menepuk bahu Taeui singkat, sentuhan ringan yang lebih hangat daripada kata-katanya. “Jangan khawatir. Aku kuat.”
Taeui terkekeh pendek, seolah berusaha mengurangi bobot ucapannya barusan. “Aku tahu.”
Mereka berjalan bersama sampai tikungan berikutnya. Taekjoo melambaikan tangan singkat sebelum menghilang ke lorong lain, langkahnya mantap dan badge Prefeknya kembali berkilat ditelan cahaya obor.
Taeui berhenti di tempat. Pandangannya mengarah ke jendela tinggi yang menghadap halaman luar. Kegelapan malam menempel di kaca, hanya memantulkan bayangan samar dirinya sendiri dengan cahaya obor yang bergetar.
Sekilas, wajahnya tampak tenang. Namun matanya, yang menangkap pantulan itu, menyimpan sesuatu yang tidak ia ungkapkan. Sebuah resah yang menggantung di udara, tertahan di balik senyum tipis yang sudah lama menjadi tameng.
✧༺✥༻✧
Notes:
*Veela: Sejenis peri yang terkenal cantik tapi kalau marah serem.
*Goblet of Fire
*Boggart: Makhluk gaib yang berubah menjadi wujud ketakutan terdalam seseorang.
*Patronus: Manifestasi sihir pelindung berbentuk hewan yang lahir dari kenangan paling bahagia
*Banshee: makhluk ghaib perempuan, rambut panjang hitam, wajah menyeramkan.
Yeva (Guest) on Chapter 1 Mon 01 Sep 2025 07:20AM UTC
Comment Actions
JustanadorbleZerochn on Chapter 3 Fri 29 Aug 2025 12:25AM UTC
Comment Actions
Hanny0610 on Chapter 3 Fri 29 Aug 2025 03:50PM UTC
Comment Actions
Hanny0610 on Chapter 3 Fri 29 Aug 2025 03:59PM UTC
Comment Actions
eka26726 on Chapter 4 Sun 31 Aug 2025 02:27AM UTC
Comment Actions
theFacg on Chapter 4 Sun 31 Aug 2025 05:02AM UTC
Comment Actions
Kabukaok on Chapter 4 Sun 31 Aug 2025 08:43AM UTC
Comment Actions