Actions

Work Header

Family

Summary:

Keluarga adalah segalanya. Itulah yang ada di pikiran Saria sejak runtuhnya Rhine Lab. Namun, utangnya yang banyak membuatnya bekerja di dunia gelap di bawah suruhan Muelsyse. Keadaan yang semakin kompleks akhirnya membawa Saria pada kenyataan yang lebih jauh, yang dia kubur dalam-dalam bersama reruntuhan Rhine Lab, dan sedang menunggu untuk digali kembali.

Chapter Text

Pagi hari yang cerah di Columbia. Mansion besar yang hanya ditinggali oleh tiga orang itu dipenuhi oleh cahaya matahari yang masuk melalui kaca-kaca rumah yang besar. Sinar matahari itu cukup untuk membuat gadis kecil bernama Ifrit bangun dari tidur lelapnya.

"Sudah pagi, sayang," sapa Silence begitu melihat Ifrit menggeliat akibat sinar matahari yang masuk karena dia membuka gordennya. "Kamu tidak mau terlambat sekolah, kan?"

Ifrit masih menggeliat, merasa bahwa tidurnya belum cukup meski dia sudah tidur dari jam delapan malam. Tidak kuat dengan sinar matahari dan tidak mau dimarahi oleh ibunya, Ifrit bangun dari tidurnya. Kesadarannya belum seratus persen terkumpul, matanya masih setengah terbuka. Ifrit menguap sekali, kemudian mengarahkan pandangannya ke arah Silence.

"Ibu Saria sudah berangkat kerja?" tanya Ifrit dengan suara yang masih berat. "Semalam Ibu Saria belum pulang saat aku mau tidur. Aku mau protes."

Mendengar ocehan anak gadisnya itu, Silence tersenyum. Dia menghampiri Ifrit dan mengelus rambutnya dengan lembut. Sejak bertambahnya usia, Ifrit tumbuh dari anak yang nakal jadi anak yang manja namun pintar dan perhatian. Rasa manja Ifrit pun entah kenapa hanya muncul terhadap Saria. Silence berpikir, mungkin karena Ifrit jarang mendapat perhatian Saria sejak kecil, jadi dia hanya manja pada Saria. Sedangkan pada Silence, Ifrit cenderung biasa saja.

"Saria pulang saat kau tidur. Memang agak malam, tapi dia janji untuk pulang lebih awal malam ini," ucap Silence.

"Huh, kemarin-kemarin juga bilangnya begitu," timpal Ifrit setengah merajuk. "Aku tahu kalau ibu punya banyak pekerjaan di luar dan banyak orang yang membutuhkan ibu, tapi bisakah ibu sehari saja tidak ke mana-mana? Hari libur pun ibu tetap bekerja."

Silence tersenyum. Dia bisa memahami kenapa Ifrit begitu manja sampai merajuk seperti itu. Silence menenangkan Ifrit sebisa mungkin dan mengatakan bahwa Saria sedang sarapan di bawah. Ifrit langsung semangat dan segara berlari keluar dari kamar. Silence hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku anaknya, kemudian lanjut membereskan kamar Ifrit.

"IBU!!!!"

Ifrit melompat ke arah Saria, memeluknya dengan erat dari samping saat Saria sedang menonton berita pagi. Saria terkejut, namun dia tidak marah. Dia mengelus rambut Ifrit kemudian tertawa kecil melihat tingkah manja anaknya itu.

"Maaf ya, semalam lagi-lagi ibu pulang telat," ucapnya. "Hari ini, ibu benar-benar janji untuk pulang lebih cepat. Ifrit mau titip apa? Cokelat? Camilan? Atau es krim?"

Ifrit menatap Saria dalam-dalam lalu menggeleng.

"Aku hanya mau ibu pulang cepat," ucapnya yakin. "Aku bisa beli semua itu dengan tabunganku sendiri. Aku hanya mau ibu pulang tepat waktu supaya bisa makan malam denganku dan mamah Silence. Ibu selalu pulang setelah jam makan malam, bahkan saat aku mau tidur pun kadang ibu belum pulang. Aku 'kan mau dininabobokan sekali-sekali sama ibu."

Saria mengangguk, kemudian lagi-lagi berjanji untuk tidak pulang terlambat. Ifrit tersenyum, benar-benar percaya bahwa ibunya akan menepati janjinya sekarang. Setelah itu, Ifrit mandi kemudian bersiap-siap untuk sekolah. Saria yang mengantar ke sekolah, sedangkan Silence melambaikan tangan pada mereka saat mobil yang dikendarai Saria perlahan menjauh dari rumah mereka.

"Bibi Joyce akan datang nanti sore," kata Saria selagi mereka di perjalanan. "Dan kemungkinan dia akan menginap. Kamu tidak masalah 'kan kalau tidur berdua dengan bibi Joyce?"

"Heem!! Tidak masalah," ucap Ifrit bersemangat. "Aku sudah lama tidak bertemu dengan bibi Joyce. Ibu tahu 'kan kalau bibi Joyce selalu menyanyikan lagu tidur untukku. Suaranya benar-benar membuatku mengantuk dan malah terdengar lebih bagus daripada mamah Silence."

Saria tertawa kecil mendengar ocehan Ifrit. Joyce memang pandai bernyanyi. Sebagai seorang yang mengenal Joyce lebih dari sepuluh tahun, Saria merssa bahwa Joyce lebih cocok jadi seorang penyanyi daripada dirinya yang sekarang. Tapi, kecintaan Joyce pada sains ternyata lebih besar daripada kecintaannya terhadap hobinya itu. Memang, Joyce adalah saintis yang hebat, termasuk dalam satu dari sekian saintis yang disegani di Columbia. Tapi, sampai detik ini, Saria masih berharap kalau Joyce—paling tidak—membuat satu lagu orisinil. Saria yakin karyanya itu dapat meledak di pasaran, tidak hanya di Columbia, tapi bisa jadi di seantero Terra.

"Baguslah kalau kamu menyukainya," kata Saria. "Joyce itu, meski dia orangnya baik, kadang dia tidak cocok dengan semua orang. Kamu tahu 'kan kalau Joyce itu suka mengoceh macam-macam jika satu meja dengan ibu atau Silence. Semua persoalan tentang sains dia ocehkan, kadang sampai membuat Silence bosan dan memintanya berhenti."

Ifrit mengangguk. Sekali waktu dia pernah duduk satu meja bersama bibi Joyce dan Silence. Waktu itu, Ifrit bahkan sampai sakit kepala hanya karena mendengar ucapan mereka berdua. Dia juga ingat kalau mamahnya benar-benar bosan mendengar ocehan bibi Joyce. Di samping semua itu, Joyce adalah sosok bibi yang baik untuk Ifrit dan tidak segan-segan untuk menuruti keinginan Ifrit atau membelikan sesuatu untuknya.

"Belajar yang tekun ya, sayang. Sini ibu cium dulu."

Saria mengecup kening Ifrit dengan lembut. Ifrit tampak sangat senang, kemudian balik membalas dengan mengecup pipi ibunya. Setelah melambaikan tangan dan berlari ke arah sekolah, Saria pergi menuju tempat lain. Tempat kerja sekaligus tempat yang menahannya untuk memenuhi janji terhadap anak tercintanya. Rhine Lab.

..

Chapter Text

"Ahh, kamu datang juga."

Wanita itu menyambut Saria dengan nada yang riang, sementara Saria menatap wanita itu dengan perasaan jengah dan dongkol. Wanita itu adalah salah satu dari alasan kenapa dia tidak bisa menghabiskan waktu dengan keluarga kecilnya. Wanita yang tampaknya sangat bersahabat, berwajah manis, dan bersuara lembut, namun Saria tahu wanita itu adalah salah satu definisi sempurna dari pepatah serigala berbulu domba.

"Cepat berikan misinya, Muelsyse," ucap Saria dengan nada yang keras. "Aku mau cepat pulang. Aku mau menghabiskan waktu dengan keluargaku. Aku ingin cepat-cepat keluar dari misi kotor ini."

Muelsyse tertawa kecil, lalu entah kenapa berpose seperti gadis majalah yang imut itu. Saria benar-benar ingin menghajarnya andai dia biaa. Tapi dia tahu, segalanya akan jadi lebih rumit jika Saria benar-benar melakukannya.

"Baiklah, singkat saja." Muelsyse mengambil satu map cokelat dan satu kotak kecil berisi 'benda yang familiar'. "Aku butuh kau untuk mengirim benda ini. Tidak jauh, hanya beberapa puluh kilometer ke perbatasan Bolivar. Aku sebenarnya ingin menyuruh orang lain tapi—"

"Cukup basa-basinya!" Saria mengambil kotak dan map itu dengan cepat sebelum wanita itu terus mengoceh. "Perlu kau tahu aku melakukan ini karena utang yang belun bisa aku bayar. Jika aku sudah punya uangnya.."

"Tapi kau tidak punya, Saria," ucap Muelsyse. "Apa kau pikir, uang hasil penjualan roti milik istrimu itu akan cukup untuk membayar semuanya? Tidak akan pernah. Sayang sekali kau tidak bisa menjual mansion milikmu itu. Aku yakin harganya cukup untuk melunasi semua utangmu. Sayangnya, kau tidak mungkin menjualnya, 'kan?"

Saria diam. Tangannya mengepal, menahan amarahnya yang sudah ada di ubun-ubun. Andai dia bisa memukul wanita ini barang sekali saja, maka Saria akan memberinya satu pukulan paling keras yang pernah dia berikan. Tapi, dia masih harus bertahan di situasi ini. Silence membutuhkannya dan Ifrit tidak boleh tahu tentang pekerjaannya ini. Saria menghela napas dan membawa benda-benda itu ke dalam mobilnya. Saria memacu mobilnya menuju perbatasan antara Columbia dan Bolivar, sembari berharap tidak ada tugas tambahan yang menunggunya di sana.

Sesampainya di Bolivar, Saria sudah ditunggu oleh beberapa orang dengan badan besar berpakaian ala-ala preman. Dia tahu bahwa merekalah penerima paket itu. Saria dengan cepat memberikan paketnya, lalu tanpa sepatah kata, dia pergi setelah menerima uang bayarannya. Saria benar-benar marah, kesal, bahkan bisa dibilang benci dengan dirinya sendiri. Dia tahu dia tidak boleh menggunakan uang itu untuk keluarganya, jadi dia menyerahkan semua uangnya ke Muelsyse meskipun kesepakatan awalnya hanya lima puluh persen. Setelah sampai kembali ke Columbia, Saria segara menemui Muelsyse dan menyerahkan uangnya.

"Lagi-lagi seratus persen," kata Muelsyse. "Ayolah, ambil separuh atau seperempatnya. Kau juga butuh uang ini, aku tahu itu."

"Bisakah kau tutup mulut besarmu itu barang sedetik?" Saria menggebrak meja. Sepertinya kesabarannya sudah hampir habis. Namun, dia segera sadar dan mengatur emosinya.

"Aku tidak butuh uang itu, Muelsyse," ucapnya. "Aku hanya butuh ketenangan dan keluar dari semua masa lalu ini. Katakan padaku tinggal berapa lagi sisa utangnya."

Muelsyse tersenyum lalu mengambil buku catatannya. Dia menghitung sisa-sisa utang Saria setelah sekian lama dan cukup terkejut dengan angkanya.

"Tersisa lima ratus dan tujuh puluh ribu LMD. Ternyata sudah berkurang tiga perempat," ucap Muelsyse. "Baiklah, setelah semua ini selesai aku akan melupakan apa yang sudah terjadi antara kau, aku, dan yang lainnya. Kau bisa memulai hidup yang kau pilih dengan tenang. Meski sejujurnya aku tidak tahu kenapa kau memilih jalan hidup seperti itu."

Saria menatap tajam ke arah Muelsyse. Meski amarahnya sudah agak mereda, tetap saja dia ingin sekali memukul wajah wanita itu.

"Kau tidak perlu tahu alasannya, dan kau tidak harus tahu," kata Saria. "Tidak semua harus kau ketahui, Muelsyse. Aku hanya ingin kau tahu kalau setelah semua ini berakhir, aku tidak akan pernah bicara lagi padamu."

Saria meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata lagi. Perjalanan dari bolak-balik Columbia ke Bolivar tidak bisa dibilang singkat. Dia bergegas pulang, tidak ingin melanggar janjinya lagi pada anaknya. Saria buru-buru menginjak pedal gas sampai batas maksimal, berharap bisa sampai rumah tepat waktu. Jalanan kota Columbia malam ini memang tidak ramai, tapi masalah berikutnya adalah Saria melihat tiga mobil sedan hitam mengikutinya. Mau tidak mau, hari ini untuk kesekian kalinya dia melanggar janji itu pada anaknya. Saria mencari tempat yang agak kosong untuk memarkir mobilnya. Saat dia keluar dari mobil, orang-orang yang mengejarnya sudah ada di hadapannya.

..

Chapter Text

"Bibi Joyce!!!!"

Ifrit berlari memeluk Joyce sesaat setelah wanita itu membuka pintu rumah Silence. Joyce menyambut pelukan hangat Ifrit dengan tangan terbuka, kemudian dia juga memeluk Ifrit bahkan sampai menggendongnya.

"Kau jadi anak baik 'kan hari ini?"

Ifrit mengangguk. "Tanya saja sama mamah Silence," ucap Ifrit bersemangat. "Aku 'kan selalu ingat pesan bibi untuk jadi anak baik yang tidak merepotkan mamah dan ibu."

Ifrit kemudian melongok keluar, berharap melihat Saria di belakang Joyce. Namun, hanya kehampaan yang ada di sana. Ibunya belum pulang, mobilnya juga belum ada. Padahal sebentar lagi makan malam. Apakah Saria akan melanggar janjinya lagi? Ifrit melihat ke arah jam, namun sebisa mungkin dia menyembunyikan perasaan sedihnya dari bibinya.

"Kukira bibi datang bersama ibu," kata Ifrit saat Joyce menurunkannya. "Apa jangan-jangan ibu masih ada banyak pekerjaan, ya?"

Joyce tersenyum lalu mengusap kepala Ifrit. "Ibumu itu punya banyak pekerjaan di luar, Ifrit. Tapi, sekarang ada bibi di sini, 'kan? Kamu bisa main sama bibi sambil menunggu ibumu pulang."

Ifrit mengangguk lalu menarik Joyce ke sofa. Joyce bahkan tidak sempat menutup pintu rumah. Ifrit kemudian memamerkan hasil gambarnya, sebuah gambar sederhana yang menunjukkan dirinya, Silence, Saria, dan Joyce. Joyce melihat gambar itu dengan seksama, kemudian menyadari bahwa posisi Ifrit di gambar itu beberapa senti lebih dekat ke arah Saria, bukan ke Silence. Untuk sesaat, Joyce malah tenggelam pada pikirannya, sebelum akhirnya tersadar kembali.

"Butuh berapa lama untuk membuatnya?"

"Sehariah." Belum sempat Ifrit menjawab, Silence tiba-tiba muncul membawa satu baki berisi kukis cokelat yang masih hangat. Silence kemudian melihat ke arah pintu rumahnya yang masih terbuka lebar, kemudian menutupnya sambil menghela sedikit napasnya.

"Lain kali tutup dulu pintunya," kata Silence. "Dan kau juga, Joyce. Paling tidak telepon dulu sebelum datang. Aku tahu kau mau ke sini sejak beberapa hari lalu, tapi aku 'kan tidak tahu kapan pastinya kau datang. Untung saja aku sedang ada di rumah."

Mendengar ocehan Silence, Joyce malah tertawa kecil. "Kau itu terlalu kaku, Silence," ucap Joyce. "Kalau kau tidak ada di rumah, aku tinggal pulang saja. Tidak ada yang sulit, 'kan?"

Joyce kemudian mengalihkan perhatiannya ke Ifrit, mendengarkan gadis itu berceloteh tentang apa yang dia pelajari hari ini. Ifrit sedang tumbuh, masa-masanya kini adalah saat di mana dia belajar mengenai banyak hal, terutama apa-apa saja yang tidak dia pelajari di sekolah.

"Bibi," ucap Ifrit tiba-tiba. "Chernobog itu seperti apa, sih?"

Joyce menatap Ifrit untuk sejenak, kemudian dia tersenyum. Chernobog adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, meski tidak banyak hal yang dia lakukan di sana kala itu. Tapi tetap saja, apa yang terjadi di Chernobog tidak akan dia lupakan. Namun, dia tidak mungkin menceritakan semuanya pada Ifrit, jadi dia berusaha untuk menahan diri sekarang.

"Chernobog, kamu tahu tempat itu dari mana?"
"Aku dengar dari mamah Silence waktu itu."
"Apa yang mamah Silence ceritakan tentang Chernobog?"

"Apa ya..," Ifrit berusaha mengingat-ingat. "Mamah bilang aku harus ke sana paling tidak sekali seumur hidup. Tapi, mamah bilang kalau aku masih terlalu kecil untuk datang ke sana. Aku harus berumur tujuh belas tahun untuk bisa ke Chernobog. Chernobog itu kota seperti Columbia, 'kan? Kalau hanya sebuah kota, kenapa sampai ada batasan umur untuk masuk ke sana?"

Joyce tersenyum, tidak menyangka bahwa Silence mulai membuka sedikit rahasia hidupnya pada Ifrit. Memang, cepat atau lambat rahasia itu akan terbongkar dan mungkin Silence memilih untuk memberitahukan Ifrit sedikit demi sedikit daripada terbongkar sengan sendirinya. Joyce kemudian mengelus rambut Ifrit lagi sebelum bercerita.

"Ya, Chernobog itu sebuah kota seperti Columbia. Tapi, kamu perlu tahu bahwa tidak setiap kota itu beruntung seperti Columbia," terang Joyce. "Chernobog, meski di peta terlihat seperti kota yang biasa-biasa saja, banyak terjadi kerusuhan di sana. Kamu belajar tentang ketidakcakapan manusia dalam memimpin di sekolah 'kan?. Nah, kira-kira seperti itulah kondisi di Chernobog. Meski sebenarnya tidak ada batasan umur seperti yang dibilang oleh mamah Silence, kamu masih terlalu muda untuk menginjakkan kaki ke sana."

Ifrit mendengarkan penjelasan Joyce dengan serius. Dia ingat tentang apa yang dipelajari di sekolah tentang konflik dan masyarakat. Kalau begitu, dia bisa menjadikan Chernobog sebagai tugas akhirnya, pikir Ifrit. Dua tahun lagi dia ada ujian kelulusan, tepat saat usianya tujuh belas.

"Kalian sudah selesai bicara?" sahut Silence tiba-tiba dari dapur. "Saatnya makan malam."

"Tapi mah," sergah Ifrit. "Ibu masih belum pulang. Ibu janji mau makan malan dengan kita, 'kan?"

Mendengar ucapan Ifrit, Joyce tiba-tiba mengambil ponsel dari tasnya, dan tanpa sepengetahuan Ifrit dia menelepon Saria. Alih-alih diangkat, terdengar pesan suara berupa kode morse yang familiar untuk Joyce. Joyce langsung paham dengan kode itu. Tanpa banyak bicara, dia menuju dapur untuk menemui Silence lalu mengetuk meja makan dua kali. Dengan cemas, Silence mengangguk.

"Bibi keluar sebentar ya," kata Joyce saat menghampiri Ifrit kembali di ruang depan. "Tiba-tiba teman bibi telepon dan memberitahu bibi ada urusan yang penting. Nanti bibi ke sini lagi, tidak usah khawatir. Ifrit mau dibelikan sesuatu?"

Ifrit bingung, terutama karena dia merasa tidak ada yang aneh sebelumnya. Meski begitu, Ifrit tidak banyak bertanya dan meminta Joyce untuk membelikannya cokelat. Joyce mengangguk dan menyuruh Ifrit untuk makan malam. Awalnya, dia menolak. Dia tetap ingin menunggu sampai Saria datang. Namun, setelah beberapa kali dibujuk oleh Joyce dan Silence, Ifrit akhirnya menurut.

..

Chapter Text

Saria tersengal. Napasnya seakan habis oleh sekumpulan orang tidak berguna yang dikirim Muelsyae untuk—jika tidak membunuhnya—membuatnya terluka atau cacat sehingga dia kesulitan untuk membayar utangnya. Setelah gelombang pertama tadi, Saria tidak mengira ada gelombang lanjutan yang datang menyerangnya. Meski dia berhasil mengalahkan setengah dari gelombang kedua itu, mobilnya dirusak oleh mereka. Untuk kesekian kalinya, dia tidak bisa pulang tepat waktu dan lagi-lagi tidak bisa menepati janji untuk Ifrit.

"Sialan. Benar-benar hidup yang sialan."

Saria berdiri. Setengah dari gelombang kedua itu sudah siap untuk menyerangnya. Saria mengepalkan tangan, menyiapkan tinju dan kuda-kudanya. Tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh anaknya, bahkan jika dia sampai dibenci oleh Ifrit, dia tidak peduli. Yang penting adalah dia tetap hidup untuk membayar hutang-hutangnya dan mengubah hidup keluarganya yang memburuk akibat ulahnya di masa lalu.

"Satu per satu," ucap Saria. "Buktikan kalau kalian benar-benar ingin membunuhku. Buktikan kalau diri kalian memang berguna untuk wanita jalang itu."

Satu orang menerjang ke arah Saria. Di tangannya ada golok yang amat tajam dan berkilau. Saria dengan mudah menghindari setiap bacokan yang datang dari pria itu, kemudian dalam satu serangan, tinjunya telak menghantam ulu hatinya. Pria itu tumbang, namun satu orang lainnya dengan cepat menyerang Saria. Kali ini dengan sebuah kapak yang—tentu saja—tajam. Yang satu ini menyerang Saria dengan ganas namun sembarangan. Saria berhasil mengalahkan pria ini dengan satu hook tajam yang mendarat tepat di wajahnya. Mungkin Saria juga mematahkan hidung pria itu dan menghancurkan gigi-giginya.

"Hanya itu yang kalian punya? Baiklah, dua lawan satu."

Dua orang kali ini maju menyerang Saria. Satu membawa golok dan satu membawa sebuah katana. Dua ini cukup merepotkan Saria, namun sama cerobohnya. Di satu kesempatan, Saria berhasil mencuri katana pria itu dan menusuk pemiliknya tepat di perut. Setelah merobek perut pria itu, Saria secepat kilat bergerak ke samping saat pria di belakangnya mengayunkan goloknya yang justru malah mendarat di kepala temannya yang sekarat. Mudah buat Saria untuk menebas punggung pria itu tiga kali sampai dua-duanya mati bersimbah darah.

Sisa-sisa dari para penyerang Saria lari tunggang langgang. Mereka tampak kehilangan keberaniannya dan sepertinya masih sayang nyawa. Saria melihat orang-orang itu pergi sambil mengacungkan jari tengahnya lalu melempar katana itu. Tidak ada yang tersisa selain dirinya di sini. Darah mengotori pakaiannya dan bau anyir memenuhi hidung Saria.

"Aku terlambat?" Seseorang datang. Saria dengan cepat menoleh ke arah suara itu. Sosok itu perlahan terlihat jelas. Saria menghela napas, dia pikir sosok itu adalah musuhnya. Tenyata, Joyce.

"Hampir saja aku mati," ucap Saria dengan napas masih tersengal. "Aku beruntung mereka masih sayang nyawa. Tapi..."

Saria melihat ke arah mobilnya yang sudah hancur. Dia sudah tidak bisa pulang tepat waktu dan Ifrit pasti akan membencinya. Dia terduduk, menangis. Sudah lama Saria tidak menangis seperti ini.

"Aku benar-benar bodoh!!! Aku yang terburuk!!!"

Joyce merasa amat kasihan melihat Saria. Jarang sekali Saria menunjukkan sisi lemahnya. Saria yang dia kenal adalah Saria yang selalu kuat entah itu secara fisik atau mental. Saria yang dia kenal adalah Saria yang tidak peduli seberapa banyak luka di tubuhnya, dia akan tetap maju dan berjuang. Saria yang dia kenal adalah Saria yang kasar, yang tidak segan-segan menghina bawahannya jika mereka gagal dalam setiap projeknya. Saria yang dia kenal, terlepas dari semua sifat buruknya, adalah Saria yang baik hati dan perhatian, terutama pada teman-temannya di Rhine Lab.

Joyce mendekati Saria. Tanpa mengucap sepatah kata pun, dia mengeluarkan device berbentuk tongkat yang biasa dia gunakan sebagai alat penyembuh. Joyce menggunakan tongkat itu untuk menyembuhkan luka-luka Saria dan mengembalikan energinya. Dia duduk di sebelah Saria, masih tidak bicara, membiarkan wanita itu menangis sekerasnya.

Setelah beberapa menit, tangisan Saria reda. Dia menatap Joyce, matanya merah karena air mata. Joyce tersenyum tipis, lalu mengelus rambut Saria.

"Sudahlah, yang penting kau masih hidup." Dengan suara yang lembut, Joyce menyemangati Saria. "Ayo kita beli cokelat buat Ifrit."

Saria mengangguk. Beruntung, Joyce bawa mobil. Di tengah-tengah perjalanan pulang, Saria berharap Ifrit masih bangun untuknya. Dia benar-benar menyayangi gadis kecil itu, meski dia tidak tahu persis bagaimana cara yang tepat untuk menunjukkan kasih sayangnya. Namun, semua orang yang mengenal Saria paham betul seberapa besar kasih sayang Saria untuk Ifrit. Itulah alasan kenapa Saria masih bekerja dengan Muelsyse, tidak peduli seberapa besar resiko yang dia hadapi. Semua itu untuk keluarganya, dan Ifrit terutama.

..

Chapter Text

Ifrit menyantap serealnya dengan lahap, sedangkan Joyce yang duduk di depannya melihat Ifrit dengan senyuman lebar. Silence menyiapkan kopi pagi untuk Saria. Sedangkan Saria menatap wanita berambut pendek yang sedang membaca novel di depannya dengan tatapan tajam. Wanita itu tampak santai dan tidak terintimidasi dengan tatapan Saria. Saria tampak tidak suka—atau paling tidak—tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu. Namun, dia bisa apa? Tidak mungkin baginya untuk mengusir wanita itu.

"Jadi, apa maksud dibalik semua ini, Doctor?" Saria menggertak giginya perlahan setelah bicara. "Kau tidak mungkin tiba-tiba muncul di Columbia tanpa ada maksud tertentu, kan?"

Wanita yang dipanggil Doctor itu hanya tersenyum tipis. Dia masih fokus dengan novelnya dan baru menjawab pertanyaan Daria setelah satu menit berselang, tepat ketika dia menaruh novel yang barusan dia baca di atas meja.

"Tidak bolehkah aku berkunjung?" Wanita itu bicara dengan nada yang datar namun tenang. "Sudah lama sekali aku tidak mampir kesini. Dan juga, aku kangen dengan Ifrit. Gadis kecil itu sudah besar ternyata. Berapa umurnya? Lima belas ya?"

Saria hanya diam lalu mengangguk. Dia tahu Doctor bukanlah orang jahat. Dia adalah orang yang amat baik untuk siapa pun yang pernah bekerja dengannya. Seseorang yang—dengan kata lain—terlalu baik untuk setiap orang yang pernah dikenalnya. Namun, Saria tahu persis siapa Doctor. Dibalik kebaikannya, dia memiliki otak yang amat dinamis dan tidak bisa ditebak. Doctor adalah seseorang yang bisa memenangkan pertandingan dengan peluang kurang dari satu persen sekalipun. Jika Doctor adalah pemain catur, maka dia bisa mengubah jalannya pertandingan hanya dengan sebuah pion dan bisa membuat pion itu jadi seperti ratu.

"Katakan yang sebenarnya, Doctor," ucap Saria. "Sebentar lagi aku harus mengantar Ifrit ke sekolah. Aku tidak punya bamyak waktu untuk mengobrol. Aku harus kerja setelah itu."

"Kalau begitu, tidak usah bekerja." Doctor tertawa kecil setelah itu. "Begini saja. Bagaimana kalau aku yang membayarnya? Semua akan selesai dan kau bisa hidup tenang setelah itu. Tidak perlu balas budi, anggap saja aku ini kelebihan uang dan tidak tahu harus aku apakan."

Mendengar ucapan Doctor, baik Saria, Silence, dan Joyce terbelalak. Beruntung Ifrit sedang menonton kartun sambil sarapan sehingga dia tidak tahu apa yang tadi Doctor katakan. Silence cepat-cepat menghampiri Saria dan Doctor sedangkan Joyce masih menemani Ifrit, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kau bercanda." Saria menggertak. "Pasti ada yang kau rencanakan dibalik semua ini. Lima ratus tujuh puluh ribu LMD bukanlah uang yang sedikit, Doctor. Ada yang kau cari di Columbia dan kau butuh aku untuk melakukannya. Tapi, karena aku masih bekerja dengan jalang itu, kau tentu saja tidak bisa menggunakan jasaku. Itulah sebabnya.."

Doctor mengangguk. Dia sangat senang Saria mengerti tujuannya. "Kau tahu, kau adalah salah satu alasan kenapa aku ingin sekali membangun ulang Rhine Lab." Doctor mengeluarkan sebuah amlpop dari saku jaketnya dan memberikannya pada Saria. "Jika aku bisa memiliki benda ini, aku bisa membebaskanmu dari segala utang. Siapa tahu, aku juga bisa mengungkap segala kejahatan Muelsyse selama dia bekerja di Rhine Lab dan membawanya ke penjara."

Saria mengambil isi amplop itu dan membaca isinya. Sebuah relik kuno bernama Four-Leaf Clover Fossil. Fosil dari daun semanggi berdaun empat yang rumornya tersimpan di ruang rahasia Rhine Lab. Sekarang, tempat itu sudah tertimbun oleh reruntuhan dan akan sulit bagi Saria untuk menemukannya. Kecuali, satu cara.

"Doctor." Saria menatap Doctor tajam, kemudian pandangannya beralih ke Silence. Keduanya mengangguk. "Ini akan sulit, dan kau tahu orang-orang Muelsyse tidak akan membiarkanku lari hidup-hidup. Mereka terus mengincar nyawaku. Kau tahu itu, kan?"

Mendengar ucapan Saria barusan, Doctor hanya tersenyum. "Tidak usah khawatir. Aku akan bernegosiasi dengan Muelsyse. Kebetulan, dia juga mengincar benda itu dan sudah beberapa langkah di depan. Aku dengar, dia bekerja sama dengan salah satu mantan petinggi Rhine Lab. Kau tahu, seseorang bernama Kristen Wright."

Saria dan Silence amat terkejut begitu Doctor menyebut nama itu. Tentu mereka tahu siapa Kristen Wright. Wanita itu adalah orang yang mendirikan Rhine Lab, sekaligus yang menghancurkan tempat itu. Seorang ilmuwan yang cerdas dan ditakuti karena beberapa eksperimen yang di luar nalar dan batas kemanusiaan. Saat Rhine Lab hancur, Kristen ada di dalam laboratorium dan Saria mengira dia ikut terkubur dengan reruntuhan Rhine Lab. Dia tidak mengira kalau wanita itu berhasil selamat dan masih hidup.

"Kukira dia ikut terkubur dengan reruntuhan Rhine Lab." Saria mengepalkan tangannya. Ingin sekali dia memukul meja namun dia urungkan. "Katakan, Doctor. Seberapa banyak kau tahu soal ini? Dan selain Joyce, siapa saja yang masih ada di pihakku?"

Doctor menghela napasnya sejenak, lalu bicara. "Cukup banyak sampai aku bisa membuat buku yang berisikan sejarah kehancuran Rhine Lab." Doctor melihat ke arah Silence dan Joyce, lalu pandangnya kembali ke Saria. "Selain mereka berdua, ada dua orang yang berada di Rhodes Island, Mayer dan Magallan. Seorang lagi masih belum menentukan mau berada di pihak mana. Dorothy Franks, kurasa kalian pasti mengenalnya."

Saria berpikir sejenak. Akan jadi masalah kalau Dorothy bergabung di pihak Muelsyse. Meski begitu, dia masih tidak mengerti mengapa Doctor dan Muelsyse mengincar relik itu. Apa untungnya memiliki sebongkah batu begitu? Namun, jika Doctor menginginkannya, maka pasti ada sesuatu di dalam relik itu.

"Baiklah." Saria sudah memutuskan pilihannya. "Senang bekerja sama denganmu, Doctor."

Doctor tersenyum. Mereka berjabat tangan sebentar sebelum Saria mengantar Ifrit ke sekolah. Setelah itu, Saria mendapat pesan dari Doctor. Dia sudah membayar sisa utang Saria pada Muelsyse. Saria buru-buru pulang karena dia tahu Muelsyse tidak akan tinggal diam. Di perjalanan pulang, dia melihat beberapa mobil berlogo Rhodes Island menuju ke sekolah Ifrit. Doctor benar-benar paham dengan situasi yang dialami Saria rupanya, dan dia punya lebih dari seribu cara untuk memuluskan rencananya.

..

Chapter Text

"Jadi, wanita itu sekarang ikut campur?"

"Mhm mhm, dia lebih pintar dari yang aku duga," ucap Muelsyse. "Aku terlalu meremehkan dia. Sepertinya dia dan kelompoknya punya sumber daya yang cukup untuk melawan kita."

Muelsyse berbalik, menatap wanita yang tengah duduk itu sambil tersenyum. "Kau sendiri bagaimana? Sudah dapat balasan darinya?"

"Dia bilang dia tidak tertarik," jawab wanita itu. "Tapi, rasanya agak janggal. Dorothy pernah bilang kalau dia ingin membangun kembali Rhine Lab. Dia lebih dekat denganmu dibanding Saria. Seharusnya, dia tidak akan menolak ajakan dariku."

"Kalau begitu, ada kemungkinan dia bergabung dengan Saria," ucap Muelsyse. "Dorothy tidak mengambil pihak manapun sampai saat ini, tapi aku kenal betul dirinya. Pasti Doctor dan Saria menawarkan keuntungan yang lebih besar untuknya, entah dalam bentuk apa. Mustahil seorang Dorothy bersikap netral untuk hal seperti ini."

"Kalau begitu, artinya kita sudah kalah?" ucap wanita itu.

"Ayolah, Kristen," kata Muelsyse. "Jangan pesimis begitu. Kita sudah beberapa langkah lebih jauh dari mereka. Robot-robot peninggalan Dorothy sudah masuk ke dalam reruntuhan. Beberapa langkah lagi kita pasti menemukan relik yang kita cari-cari."

Kristen berpikir sejenak, lalu mengangguk. Dia selalu percaya pada rencana Muelsyse, meski kadang rencana-rencana yang dibuat agak spontan dan berbahaya. Sampai titik ini, tidak ada yang mengganggu rencana mereka, tapi mereka tahu hanya tinggal menunggu waktu sampai Doctor dan Saria ikut serta mencari relik itu.

"Kalau begitu, aku akan mengumpulkan pasukan," ucap Kristen. "Harus ada yang menjaga reruntuhan itu agar tidak diganggu, dan juga harus ada seseorang yang menghalangi Saria."

Mendengar itu, Muelsyse terkekeh kecil. "Kau yakin mau melawan Saria sendirian?" ucapnya. "Aku masih ingat kau dibuat hampir mati hanya dengan beberapa pukulan."

"Kau meremehkan diriku?" gertak Kristen. "Andai Silence tidak ada waktu itu, sudah pasti aku yang menang."

"Ayolah, tidak usah naif begitu," timpal Muelsyse. "Melawan Saria, kau perlu pasukan. Rekrut orang-orang, latih mereka. Hal seperti memangnya memalukan bagimu? Punya pasukan yang bisa kau andalkan harusnya jadi kebanggaan untuk dirimu, Kristen. Ingat, kalau kau punya pasukan yang hebat, kau tidak perlu repot-repot mengotori tangan sendiri."

Kristen menggertak lagi, tangannya sudah mengepal. "Entah kenapa aku lupa kau punya mulut yang suka bicara," ucapnya. "Mau dengan tangan sendiri atau tidak, itu urusanku. Kau tidak perlu banyak ikut campur. Ini urusanku dengan Saria. Kau tinggal terima beres."

Muelsyse tertawa kecil, tapi tidak menggubris ucapan Kristen. Kristen pergi dari markas Muelsyse sedangkan Muelsyse kembali menyusun rencana. Dengan utang Saria yang telah dibayar oleh Doctor, dia tidak bisa lagi mengontrol Saria. Namun, itu tidak jadi masalah. Kehilangan kontrol atas Saria bukan perkara besar, dia masih punya satu kartu As yang belum dikeluarkan.

.

"Baru kali ini aku masuk ke gorong-gorong Columbia," ucap Doctor. "Apa Rhine Lab juga mengurusi masalah banjir dan penyumbatan air di kota ini?"

"Tentu saja tidak, Doctor," jawab Joyce. "Hal-hal teknis begitu tidak diurus oleh kami. Kalau kau bingung kenapa aku punya peta saluran air Columbia, anggap saja aku pernah datang ke tempat ini beberapa kali untuk menyelesaikan suatu urusan."

"Pasti berhubungan dengan..," Doctor tidak melanjutkan ucapannya. "Apa aku benar, Joyce?"

Joyce hanya tersenyum, sama sekali tidak mengiyakan, tapi juga tidak membantah ucapan Doctor. Suara langkah kaki mereka bergema di dalam sini, selain suara tetesan air yang entah dari mana asalnya. Doctor dan Joyce sudah dua puluh menit menyusuri tempat ini. Menurut Joyce, saluran air ini tersambung ke semua bangunan di Columbia, termasuk reruntuhan Rhine Lab.

Setelah beberapa kali belok, mereka akhirnya tiba di percabangan. Ada yang kanan, ada yang kiri. Atas petunjuk Joyce, mereka belok ke kanan. Beberala langkah setelahnya, ada percabangan lagi. Kali ini ke sebelah kiri, kata Joyce. Baru beberapa langkah, Doctor merasa ada sesuatu yang aneh. Dia merasa ada sesuatu yang menunggu mereka di depan sana. Doctor pun berhenti, begitu juga dengan Joyce.

"Ada apa, Doctor?" tanya Joyce.
"Hanya memastikan," jawab Doctor. "Semua ini terlalu normal."
"Apa maksudnya?" tanya Joyce.

"Seharusnya ada sesuatu yang menghalangi kita," kata Doctor. "Coba perhatikan, suasana di sini begitu tenang. Seharusnya Muelsyse dan Kristen sudah mengantisipasi kalau kita akan lewat sini. Tapi, tidak ada yang menghalangi kita sampai titik ini. Semua berjalan sangat normal, sangat mulus, bahkan tidak ada yang menghalangi sinyal internet di bawah sini."

Belom satu menit berlalu, suara-suara langkah kaki mendekat ke arah Doctor dan Joyce. Dari balik tembok, muncul sepuluh robot besar. Keduanya segera sadar kalau robot-robot itu adalah milik Dorothy.

"Dorothy tidak mungkin bergabung dengan Muelsyse, kan?" bisik Doctor.
"Kemungkinannya tidak pernah nol, Doctor," jawab Joyce.
"Kalau begitu kita harus melawan mereka," kata Doctor lagi.

Joyce mengangguk. Dia segera mengeluarkan tongkat penyembuh, sedangkan Doctor memasang kuda-kuda. Sebilah pedang berwarna hitam muncul di tangan Doctor, diikuti dengan semacam pelindung lengan dari besi dengan warna yang sama. Doctor sudah siap untuk bertarung, begitu juga dengan robot-robot itu. Dua lawan sepuluh, benar-benar mengasyikkan, kata Doctor.

..