Actions

Work Header

Barangkali, Di Suatu Waktu

Summary:

Satu pada pertemuan pertama. Sebuah kenangan yang aku tuliskan dalam rak-rak ingatanku yang sesak.

Notes:

Meminjam dan terinspirasi dari universe anime Belle 2021 (Ryuu to Sobakasu no Hime/The Dragon and the Freckled Princess)
Cr punya Mamoru Hosoda selaku direktur dan penulis anime.

Ini lokal AU Ateez
Yudhistira : Yeosang
Ridwan : Wooyoung
Satria : San

(See the end of the work for more notes.)

Chapter 1

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Belakangan ini, ada satu aplikasi yang sangat marak di kalangan masyarakat. Temanku yang awalnya memberitahu dan sekarang aku kecanduan dengan aplikasi itu. Aplikasi dimana kau bisa membuat avatar sesuai dengan kepribadianmu.

Nama aplikasi itu ‘U’. Oh, gila. Aplikasi ini keren. Seperti bermain game virtual reality. Banyak hal yang bisa kutemukan di sini. Avatar punyaku sangat lucu. Peri kecil dengan rambut yang menutupi tengkuk. Belum lagi dengan lingkaran yang ada di kepala yang berhias permata mungil. Rasanya seperti sedang meng-cosplay. Mana rambutnya warna pirang. Aku berjingkrak senang sampai bundaku mengatai aku orang gila.

Sistemnya sama saja dengan sosial pada umumnya. Namun di sini jangkauannya lebih luas. Bahkan bulan lalu aku menonton konser lewat U tanpa mengeluarkan uang! Pertama kalinya aku bisa melihat idolku sedekat itu. Terima kasih U!

“Yud, gurunya mau dateng. Logout dulu ceunah.”

Aku buru-buru logout dari U. Airpods dengan logo U di atasnya ku lepas dari telinga. “Istirahate cepet men.”

“Situ yang serius amat main U. Kebiasaan.” Teman dekatku, Ridwan meletakkan sebungkus roti di mejaku. “Istirahat tuh waktunya ke kantin juga, malah main U. Lupa makan, aing yang dijewer bundamu.”

Aku hanya terkekeh. Tak lupa mengucapkan terima kasih baru menghabiskan roti yang diberikan Ridwan dengan kecepatan kilat. Begitu aku selesai menelan rotiku, guru fisika masuk kelas.

“Keluarkan buku fisika kalian, hari ini kita belajar tentang katrol.”

Jam pelajaran fisika menghabiskan 3 jam penuh mana gurunya tidak berbaik hati memotong jam. Kepalaku serasa berasap ketika guru selesai mengucapkan salam lalu pergi dengan meninggalkan catatan PR di papan tulis. Nangis aja, sudah. Tidak tertolong.

“Jangan pudung lah, Yud. Nanti ngerjainnya bareng-bareng,” hibur Ridwan yang sebenarnya tidak berguna. Karena dia sepanjang pelajaran malah tidur.

“Ngerjain mbek kon malah sesat.” Ku pukul pelan pundaknya dan empunya malah tertawa. Emang gak waras.

Kami berpisah di persimpangan jalan. Aku pulang seraya bersenandung pelan, memikirkan apa yang sedang dimasak bunda. Bau ayam goreng tercium dari teras rumah.

“Bunda! Anak gantengmu pulang!”

Gusti, biasa aja masuknya. Gak usah teriak!”

Aku nyengir kuda. Ku letakkan sepatu di rak kemudian langsung pergi ke dapur. Ini kegiatanku sehari-hari, tak ada yang menarik. Makan, ganggu bunda, balik ke kamar dan rebahan.

Hari ini aku login U lewat laptopku, niatnya ingin melihat idol. Tau-tau ada satu hal yang menarik. Saat aku jalan-jalan melintasi hiruk-pikuk para avatar, ada satu avatar yang sedang melakukan busking. Niatnya hanya menonton dari jauh. Iya, niatnya… tapi tidak. Yang terjadi aku malah duduk di depannya. Seperti seorang anak kecil yang anteng mendengarkan gurunya bercerita. Saat itu hanya ada beberapa orang yang ikut menonton. Kebanyakan pergi di tengah lagu. Aku tetap di sana sampai avatar itu membungkuk sopan sebagai penutup lagunya.

Aku bertepuk tangan. Avatar itu berbentuk seseorang dengan telinga dan hidung beruang. Netranya berwarna coklat cerah seperti warna meja kayu di film-film jepang. Belum lagi dengan senyumnya yang menampakkan deretan giginya yang rapi.

“Terima kasih sudah menontonku sampai akhir.” Dia tidak berbicara dengan bahasa yang sama denganku. Di atasnya muncul balon kata dengan terjemahan dalam bahasaku.

“Suaramu cantik,” pujiku. Berdoa wajahku tidak memerah sehingga mempengaruhi avatarku.

“Terima kasih.”

Itu pertama kalinya, aku sampai tidak bisa tidur karena memikirkan seseorang — yang bahkan bahasanya tidak sama denganku dan aku hanya sekedar bertemu avatarnya yang imut. Aku berguling-guling di kasur sampai tubuhku jatuh dari kasur.

“Kakak! Itu kenapa?”

Memalukan sekali. Aku segera bangun. “Gak papa, Bun.”

Mari cepat tidur, mari melupakan semua ini.


Tidak, tidak aku tidak bisa melupakannya. Sepanjang sekolah bahkan aku tidak fokus dengan pelajaran yang ada. Bisa-bisanya saat pelajaran bahasa, aku malah mengumpulkan buku kimia. Ridwan di belakang ketawa sepuas-puasnya sebelum aku lempar penghapus ke mulutnya. Temen laknat.

“Mikir apa seh? Tumben kamu sampe buyar fokus gitu.” Ridwan menggeleng-geleng melihatku yang sekarang tengah zone out. “Halo, mie ayam kepada Yudhistira.”

Aku tersentak. “Gak papa.”

“Gak papa. Iya, gitu aja terus jawabnya. Ini mie ayam gak jadi buat kamu sampe-an.” Ridwan menatap kesal.

Aku terkekeh. “Canda, Wan. Jangan ngambek dong,” bujukku.

“Cerita deh.”

Aku menghela napas. “Kepikiran aja.”

Ridwan masih menunggu. Seluruh atensinya diberikan padaku.

“Kemarin aku nonton busking di U. Masa aku kepincut, Wan. Pengen nangis aja, aku suka sama orang gara-gara dia nyanyi, Wan. Kamu tau gak sih, bukan kayak pas nonton idol. Ini tuh yang sampe jatuh, kepikiran terus.” Semua kata-kata itu keluar tanpa permisi. Aku saja kaget.

“Hati siapa sih yang tau, Yud. Kayak aku bisa suka sama anak kelas sebelah yang ih, bisa ada ya anak gitu. Toh, tapi kan hati juga gak ada yang tau,” balas Ridwan santai seraya mengunyah pisang goreng miliknya.

Aku mengangguk kecil, mencerna kata-kata Ridwan sebelum menyadari sesuatu. “Kamu suka anak sebelah yang suka dihukum guru itu?” seruku kaget. Sampai satu kantin melihatku. Aduh, malu.

Ridwan mah biasa saja. Karena dia yang biasanya malu-maluin. “Yeah, aku suka sama anak itu.”

“Wan, kamu kesambet?” Aku meletakkan tanganku di dahinya. Siapa tau Ridwan lagi demam.

“Yudhistira temenku yang geulis pisan. Aku gak sakit. Aku sangat sehat,” sergah Ridwan. “Terima aja dulu perasaanmu, ya barangkali cuma sekilas. Abisin mie ayamnya, keburu bel.”

Ah, boleh juga saran Ridwan. Mungkin ini semua hanya perasaan yang numpang lewat.

Notes:

Glosarium :

Aing : bahasa sunda artinya ‘aku’.
mbek : bahasa jawa artinya ‘dengan’.
kon : bentuk kasar dari ‘kowe’ artinya ‘kamu’.
gusti : bahasa jawa artinya ‘tuhan’.
geulis pisan : bahasa sunda artinya ‘cantik banget’.
Busking : pertunjukkan jalanan.

Chapter 2

Summary:

Karena mu, aku kembali mendapatkan keberanian. Oleh karena itu, aku berterima kasih.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Kesibukan tugas dari rumah sangat menyita banyak waktu. Bahkan aku tidak sempat hanya sekedar membuka ponsel dan bermain game. Paling-paling hanya sebatas membalas pesan teman sekelas atau meladeni celotehan Ridwan.

“Yudhis! Bantu bunda anter kue ke tetangga yang hajatan!” seru bunda dari dapur.

Ku letakkan pensil dan segera menghampiri bunda. “Rumahnya yang mana, Bun? Yang samping rumahnya Wawan, kan?”

Bunda mengangguk. “Langsung balik jangan lupa. Kebiasaan nanti kalau ketemu Wawan mesti lupa waktu, terus PR-nya jadi gak dikerjain.”

Aku melakukan gestur hormat. “Siap, Bunda. Yudhis pamit.”

Ku kayuh sepedaku dengan plastik berisi kue di tangan kiri. Karena masih takut naik motor, lebih baik tidak mencari mati. Rumah Ridwan tidak begitu jauh, masih satu desa tapi kalau ditempuh dengan jalan kaki tetap saja capek.

“Yud! Nganter kue?” Nah, Ridwan nongol. Dia tengah duduk di teras bersama kakaknya dengan buku di depannya.

“Tumben ngerjain PR. Biasanya nunggu dijemur dulu,” ledekku.

Muka Ridwan langsung keruh. “Abang aing pulang.”

“Wan, ayo PR-nya kerjain dulu.” Abangnya Ridwan emang galak. Beda kepribadian Ridwan yang sukanya cengengesan dan tindakannya nyeleneh. Aku dulu sempat mengira itu abang sepupu Ridwan, ternyata abang kandungnya.

“Duluan ya. Bang, Wawan kalau nakal jewer aja!” seruku sambil melanjutkan perjalanan. Abangnya Ridwan mengacungkan jempol.

Aku melaksanakan perintah bunda. Selesai mengantar barang, langsung pulang. Hanya melempar beberapa kalimat ejekan pada Ridwan yang sedari tadi wajah masamnya belum hilang. Sepanjang perjalanan pulang, tiba-tiba terlintas busking yang kulihat tempo hari. Ah, aku lupa mencari username-nya. Semoga saja bertemu lagi.

Sampai di rumah, kembali mengerjakan tugas. Semuanya baru selesai saat mentari cahayanya mulai berubah jingga. Mari mandi lalu login ke U. Kepalaku rasanya mau pecah.

Ternyata, ada satu akun yang meng-follow akunku. Oh, siapa ini. Padahal tidak ada yang menarik dari akun U-ku. Saatku lihat, astaga.

“Bunda! Dia nge-follow akun aku!”

“Gusti, Yudhis! Kamu teriak-teriak gitu lama-lama tak loakin ke Sengkuni!”

Aku hanya memasangan cengiran. Dengan perasaan senang yang membuncah, aku masuk ke U. Siapa sangka aku bertemu dengan avatar beruang itu. Sama seperti aku bertemu pertama kali. Dia tengah melakukan busking, kali ini ada beberapa avatar lain yang menonton. Suaranya masih sama, terdengar merdu.

Aku mengambil posisi duduk di hadapannya. Mata bulatnya tampak sendu. Apakah aku salah lihat? U itu bisa merefleksikan perasaan sang pemilik avatar karena tersambung pada data biometrik. Apa dia baik-baik saja?

Sang Avatar Beruang menyelesaikan lagunya. Seperti biasa dia membungkukkan tubuh sebagai ucapan terima kasih pada para penontonnya.

Ketika avatar beruang itu akan pergi, dengan memberanikan diriku menahan tangannya. “Eh…”

“Iya?”

“Er… aku menyukai lagumu. Teruslah menyanyi.” Yudhis goblok! Rasanya mau menguburkan diri di dapur bunda.

“Ah, aku sudah lama tak melihatmu. Kupikir kau bosan dengan laguku. Ternyata tidak, terima kasih atas dukunganmu.” Sebuah senyuman tersungging di wajah yang entah kenapa tampak pucat. Yah, walau bisa saja itu memang dari bentukan avatarnya tapi aku rasa tidak.

“Kau menungguku?” Kedua netraku melebar kaget.

Avatar beruang itu mengangguk. “Hari itu adalah pertama kalinya aku bernyanyi seteah sekian lama.” Dia menatapku. “Dan kau di sana, menontonku dengan wajah bahagia dan itu yang membuatku kembali berani bernyanyi lagi.”

Anjir! Aku pengen nyelem ke laut ae, cuk! Entah ini wajahku memerah atau tidak. “Ah, makasih.”

“Aku yang berterima kasih!”

Pasti setelah ini bunda akan mengejekku habis-habisan karena teriak-teriak tidak jelas. “Baguslah kalau itu yang membuatmu kembali bernyanyi.”

“Kau tidak mau ikut bernyanyi denganku?” Sebuah tawaran yang tak terduga.

Aku mengerjap. “Aku tidak bisa nyanyi.”

Sebuah gelengan diberikan. “Suaramu bagus, karakter suara yang unik. Ayo coba dulu.” Ia menarik tanganku, membawaku ke sebuah tempat yang mirip dengan studio. Ku pikir itu studio pribadinya.

Si Avatar Beruang menyiapkan gitarnya dan bertanya tentang lagu yang biasa yang kudengarkan. Aku menyebutkan beberapa lagu dan dia mulaii berlatih kuncinya. Ini kah yang disebut pemusik jenius? Bahkan ia sudah mahir dalam hitungan menit.

“Untung kuncinya tak begitu sulit,” ujarnya.

“Ku pikir itu sulit,” komentarku.

Avatar beruang itu menyengir. “Aku pernah menghafalkan kunci yang lebih susah dari ini. Ayo kita coba.”

Buru-buru aku menggeleng. “Kau saja.”

Setelah acara membujuk yang lama, akhirnya aku luluh. Nada-nada yang akrab di telingaku mengalun. Satu tarikan napas yang ragu sebelum aku mulai menyenandungkan lirik yang sudah ku hafal di luar kepala. Sangat lirih.

Sepasang mata bulat menatapku seolah menyakinkan diriku. Pelan-pelan, aku mengeluarkan suara yang lebih. Perlahan semakin jelas. Sudah lama aku tak seperti ini. Aku mengeluarkan suaraku untuk bernyanyi.

“Sudahku bilang, kau bisa.”

Aku tersenyum. Keberanian itu juga kembali padaku. “Terima kasih.”

Avatar di hadapanku menggeleng. “Berterimakasihlah pada dirimu.”

Aku tersenyum kembali. Melodi diteruskan. Aku tidak takut lagi. Sebuah kenangan berputar kembali di kepalaku mengundang nostalgia.

“Lagu yang bagus.”

Aku tak bisa menahan tangisku.

“Eh?”

“Ah, tidak apa. Aku hanya teringat ayahku.” Ku tarik napasku pelan.

Tak kusangka avatar beruang itu malah memelukku. Tambah pecahlah tangisku. Aku tak pernah menangis sekencang ini bahkan saat pemakaman ayah. Masih terngiang-ngiang suara ayah yang menimangku sebelum tidur karena takut dengan monster yang ada di bawah kolong kasur.

“Jangan ditahan nangisnya, nanti pusing.”

Aku tak membalas apapun. Hanya hatiku yang berbisik lirih, terima kasih.


“Kenapa kok matanya sembap?” Bunda menatapku khawatir saat aku ke ruang makan untuk makan malam.

Ku gelengkan kepala. “Gak papa. Kangen ayah aja.”

Bunda tersenyum lembut. “Besok ayo kita jenguk ayah. Kan mumpung sekolahmu juga libur.”

Aku mengangguk semangat. “Besok Yudhis bangun pagi!”

 

Kami sama-sama memelihara luka yang sama selama bertahun-tahun. Tidak pernah berusaha untuk menyembuhkannya, karena bersama luka itu, kenangan ayah hidup dalamnya.

Aku duduk di gundukan tanah yang sudah kembali ditumbuhi rumput liar. Bunda di sampingku tengah mencabuti rumput liar. Aku hanya diam, membiarkan semua kenangan ayah menyerbuku.

“Ayah, hari ini Yudhis ikut bunda jenguk ayah.” Bunda mengusap kepalaku. “Katanya kangen sama ayah.”

Aku terkekeh. “Maaf ya, Yah. Yudhis jarang ikut bunda buat jenguk ayah.” Sosok ayah ku hadirkan dalam ingatanku. “Yudhis kemarin sama temen baru Yudhis diajakin nyanyi, nyanyiin lagu ayah yang biasanya dinyanyiin buat Yudhis. Yudhis udah gak takut lagi buat nyanyi itu.” Pandanganku mengabur. Dada semakin sesak.

“Yudhis masih suka pusing ngerjain PR. Masih suka teriak-teriak sampe sama bunda katanya mau dikasih ke paman Sengkuni. Yudhis masih takut sama Sengkuni dan Rahwana, sama kayak dulu kalau ayah nakut-nakutin Yudhis. Jadi Yudhis baik-baik aja.” Tangisku pecah. Ku rasakan tangan bunda mengusap punggungku lembut.

“Anak kita tumbuh dengan baik. Terima kasih ayah yang dulu ikut didik Yudhis dengan sepenuh hati. Sekarang bunda yang berjuang,” tambah bunda. Aku bisa melihat senyuman tipis bunda. “Kita pulang dulu ya, ayah,” ujar bunda.

Ku hapus air mataku yang masih menjejak. Bunda bangkit terlebih dahulu kemudian membantuku berdiri. “Ayo jajan es krim, bunda udah lama gak makan es krim.”

“Uyeah! Yudhis akhirnya jajan es krim!”

Notes:

Glosarium :

Sengkuni : nama salah satu tokoh di dunia perwayangan dalam cerita Mahabharata. Dikenal dengan sifat liciknya yang suka menghasut para Kurawa untuk selalu memusuhi Pandawa.
Rahwana : nama salah satu tokoh di cerita Ramayana. Raja Alengka yang menculik Sinta yang merupakan istri Rama.

note : maaf jika ada kesalahan informasi yang diberikan :’). Silakan koreksi jika ada yang salah.

Chapter 3

Summary:

Aku ingin bertanya, jika besok dunia berakhir untukmu apa yang akan kau lakukan?

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Ridwan mengejutkanku dengan sebuah berita.

Sing tenan kowe lak omong! Yang bener kalau ngomong, Wan. Gak sah ngadi-ngadi.” Bahkan aku tanpa sadar menaikkan suaraku. Untungnya Ridwan membawaku ke bagian sepi di sekolah, dekat dengan kamar mandi yang ada di sudut sekolah.

“Beneran aku.” Wajah Ridwan sudah pias.

Aku menghela napas. Oke, ini berita mengejutkan. Tak menyangka temanku yang jelmaan toa ini tau-tau ditembak oleh orang yang dia sukai. Bukan ditembak dalam artian ditembak dengan pistol, kalian pasti paham maksudku.

Ridwan sudah mondar-mandir kebingungan. Padahal tempo hari dia yang memberiku nasihat masalah percintaan seolah ahli nyatanya lihatlah dia saat mendapatkan masalah yang tak jauh berbeda. Benar-benar ini si Ridwan.

“Berhenti gelisah seperti itu, kayak habis dikasih rahasia negara aja,” tegurku.

“Gimana gak gusar, Yud. Dia nagih jawabannya entar pulang sekolah.”

“Hah!” Sebuah pernyataan yang membuatku terkejut lagi. “Yaudah, awakmu maunya gimana?”

Ridwan menghela napas. “Ya, aku maunya gak usah pacaran dulu. Kamu taukan abangku strict banget sama masalah kayak gini. Tapi — ”

Aku membaca tatapan Ridwan. Ah, tatapan yang tak ingin melepaskan sesuatu. “Wan, kalau kamu gak nyaman buat pacaran dulu dan gak mau ngelepas dia, mending kasih jarak dulu. Kayak dulu kamu bilang ke aku. Masalah hati kan juga gak ada yang tau. Jangan dipaksa.”

Ridwan mengangguk pelan. “Makasih, Yud. Aku tadi sempet mikir buat nerima dia gitu aja.”

Aku tertawa. “Ya, kalau kamu mau main di belakang keluargamu ya silakan. Aku juga gak marah. Tapi ya itu, jangan paksain perasaanmu.”

Ridwan mengangguk lagi. “Lha, anjir. Yud, jam istirahatnya…”

“Mie ayamnya!” seruku.

“Buru!” Ridwan mengambil langkah terlebih dulu kemudian aku menyusulnya. Kami tertawa sambil berlari ke kantin.

Mari terus seperti ini, seperti kisah kita di masa lalu.

 

Aku semakin sering bertemu dengan avatar beruang yang memintaku untuk memanggilnya Hoho. Nama yang lucu. Kadang kami bertemu untuk sekedar tukar sapa atau aku menonton busking-nya. Penontonnya semakin hari semakin banyak. Hal itu membuatku senang.

Hari ini aku bercerita padanya tentang Ridwan dan dia tertawa. Aku bertanya dimana letak lucunya. Dia menjawab sambil menatap langit dunia U yang bagai tampilan game di virtual reality.

“Lucu saja, siapa yang menduga ternyata orang yang ia sukai juga menyukai dia dan berani mengambil langkah.” Hoho tersenyum. “Itu langkah yang berani.”

Aku mengangguk-angguk kecil. “Benar juga.”

Hoho membicarakan cuaca di negaranya yang mulai memasuki musim gugur. Aku iri mendengarnya. Negaraku kan musimnya cuma dua.

“Makanya main ke sana.”

“Bicaramu seenak ketika ingin beli permen,” cibirku.

Hoho tertawa. “Ada yang bilang ucapan itu doa, jadi semoga perkataanku tadi masuk doa.”

Aku menggeleng pelan. “Yah, semoga.” Bahkan aku belum memikirkan soal kehidupanku setelah SMA. Ku rasa hidup seperti ini menyenangkan.

“Ra.”

Aku yang menyuruhnya untuk memanggilku Ira. Namaku sepertinya terlalu sulit diucapkan di lidahnya. Ku tolehi Hoho yang duduk di sebelahku. “Kenapa?”

“Hem, hanya kepikiran sesuatu.” Kilatan pada mata bening itu berubah sendu.

“Apa?” Tapi aku tak ingin memburunya dengan segudang pertanyaan yang tersimpan di kepalaku.

“Kalau dunia besok berakhir untukmu, apa yang kau lakukan?”

Aku tertegun.

“Kalau aku, aku ingin menghabiskan waktu tenangku di sini.”

Aku masih diam saja. Tak membalas apapun. Berusaha meresapi kata-kata yang keluar dari bibirnya.

“Di duniaku tenang tapi semua terasa sesak. Ketika aku masuk ke U, aku bisa mendapatkan ketenanganku di tengah riuhnya para avatar. Aneh bukan?” Hoho membalas tatapanku. “Entah karena kau di sini atau tidak. Namun keberadaanmu termasuk hal yang paling ku syukuri.”

Hening menelungkupi. Aku menatapnya dan dia balas menatapku. Aku menyelami netra gelap itu, berusaha memahami kesenduan yang ada di sana. “Apa waktumu sudah tidak banyak lagi?” lirihku.

Ia mengulum senyum tipis yang tak ku pahami. “Waktu tidak ada yang tau bukan?”

Denyar aneh memenuhi dadaku. Sedih lebih mendominasi di sana. “Aku akan bilang pada waktu untuk tidak terburu-buru mengambilmu.”

Hoho terkekeh pelan. Ia mengusap kepalaku. “Sudah ku bilang, bukan? Waktu tidak ada yang tau.”

Bolehkan aku memeluk sosok itu dan tak ingin melepaskannya? Semua itu hanya pemikiranku karena hingga kami berpisah di ujung hari, aku tetap hanya memandangi punggungnya yang menghilang di antara lautan avatar yang berlalu lalang.

Kini bolehkan aku menyesali semua ini?

Notes:

Glosarium :
awakmu : bentuk lain dari kowe dalam bahasa Jawa, artinya ‘kamu’.

Note : Merekomendasikan satu lagu yang biasa aku dengarin pas ngetik ini. Judulnya ‘A Million Miles Away’ yang jadi salah satu soundtrack di anime ‘Belle’.

Chapter 4

Summary:

Di akhir pertemuan kita, tidak ada kata perpisahan, bukan?

Chapter Text

Pada hari-hari berikutnya, aku tidak menemukan Hoho sampai ujian semester mulai menyibukkanku. Kemana dia? Banyak yang ingin ku ceritakan padanya termasuk Ridwan yang sudah berani menceritakan permasalahannya pada kakaknya. Walaupun hanya via telepon. Namun itu sudah sebuah kemajuan bukan?

Hubungan Ridwan dengan orang yang ia sukai hanya sebatas teman hingga sekarang. Kami bertiga menjadi dekat sekalipun aku berasa menjadi nyamuk kalau bersama mereka. Oh dan satu lagi, setelah ujian semester, wali kelasku akan menanyakan mau lanjut ke mana.

Aku sudah berhari-hari mengabaikan kertas yang berisi tentang rancangan kuliah. Boleh gak ngumpulin aja gak sih? Aku mendengus. Tiba-tiba ku dengar suara gaduh barang logam berjatuhan. Cepat-cepat aku menghampiri sumber suara.

“Astaga, Bunda!”

Aku kalut seketika.


“Bundanya punya anemia ya? Jadinya lemes gini.”

Iya, tadi bunda tiba-tiba ku temukan pingsan. Dengan bantuan Satria — orang yang disukai Ridwan, ia yang memanggilnya karena aku dan Ridwan sama-sama tidak bisa naik motor — kami membawanya ke klinik orang tuanya. Ridwan sibuk menenangkan diriku yang masih gemetar melihat bunda yang tengah pulas dengan infus di tangan.

“Wan…”

“Bunda gak papa itu, cuma kecapekan.”

“Kalau mau nginep di sini gak papa. Kamarnya Ria luas, kalian bisa tidur di kamar dia. Ini bundanya biar dijaga sama asistennya tante, oke?” Bersyukur ibunya Satria orang yang sangat ramah. Setauku kalau di klinik tidak boleh sembarangan ngasih infus ke pasien tapi ibunya Satria bahkan tidak ragu untuk melakukannya.

“Nginep aja. Mau gue anterin buat ambil barang dulu?” tawar Satria.

“Bunda nanti gimana?” Aku tak bisa berhenti khawatir dengan bunda.

“Bunda sama tante. Ria anterin mereka berdua dulu aja.” Sekali lagi ibu Satria meyakinkanku.

Ridwan tanpa berkata apapun langsung membawaku walau aku memberontak. Ah, kenangan lama kembali. Dulu saat ayah masuk rumah sakit, Ridwan juga yang menahan tubuhku supaya tidak menghambur ke rumah sakit.

“Ayo, Yud. Bunda gak papa.”

Tubuhku otomatis menurut dengan kata-kata Ridwan. Dengan diantar Satria ke rumah, aku dan Ridwan membawa satu stel baju dengan beberapa buku. Ketika kami kembali ke rumah Satria, bunda sudah sadar. Lututku langsung lemas dan tanpa aba-aba aku menangis. Bunda sampai buru-buru menghampiriku dan tak ingat kalau tangannya ada infus yang menancap.

“Udah, gak papa. Yudhistira anak bunda jangan nangis.”

“Lagian Bunda masa tau-tau pingsan, kan Yudhis kaget.”

“Iya-iya, maafin bunda.” Bunda mengelus kepalaku.

Ibu Satria memaksa bunda untuk menginap semalam demi memantau keadaan bunda yang belum sepenuhnya stabil. Aku diajak Satria naik ke kamarnya. Setelah belajar, yang sebenarnya malah kebanyakan candaan garing Satria dan tawa Ridwan yang menertawakan kegaringan Satria, aku menggosok gigi. Niatnya mau masuk ke dalam U tapi ternyata ponselku mati.

Aku memosisikan diri di samping Ridwan. “Udah tenang?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Makasih ya, Wan.”

Ridwan terkekeh. “Tugasku dari dulu bukan?”

Aku tertawa. Sampai Satria yang baru keluar dari kamar mandi keheranan.

Ting! Ada satu pesan untukmu dari akun Hoho.


Besoknya kami kalang kabut karena telat bangun. Aku dan Ridwan hanya menyikat gigi dan cuci muka. Hanya Satria yang sempat mandi karena dia bangun lebih awal lima menit dari kami. Ayah Satria mengantar kami ke gerbang sekolah dengan kecepatan penuh tapi tetap saja kami terlambat.

“Ibu gak heran kalau Satria telat, tapi Ridwan dan Yudhistira? Catatan kalian bersih semester ini padahal.” Guru konseling menatap kami galak.

“Bu, ini beneran murni gara-gara kita ketiduran. Semalem kita jagain bundanya Yudhistira yang sakit. Masa kita tega biarin Yudhistira jagain bundanya semaleman, Bu.” Ridwan dengan segala cara meminta keringanan. Hari ini ujian terakhir mereka.

Aku dan Satria kompak mengangguk. “Hukumannya pulang sekolah aja ya, Bu. Ujiannya keburu mulai.” Gantian Satria yang memelas.

Akhirnya guru konseling melepas kami. Segera saja kami masuk ke kelas yang untungnya baru absen. Setidaknya, mari menghela napas untuk sekarang.

Waktu sekolah saat ujian lebih pendek. Sebelum jam 12 kami sudah pulang. Aku dan Ridwan ke rumah Satria dulu untuk menjemput bunda dan mengambil barang. Rupanya bunda sudah pulang duluan. Aku dan Ridwan berpisah di persimpangan.

“Ujiannya gimana, Yud?” tanya bunda yang tengah bersantai menonton TV.

Ku acungkan jempol. “Berantakan.”

Bunda menggeleng saja. Beliau menyuruhku untuk duduk di sebelahnya. Kami menonton gosip selebritis sembari sesekali menjulidi mereka. Ketika mentari sudah pada titik tertingginya, bunda pamit untuk istirahat. Maka aku pun begitu.

Aku membuka ponsel sambil membaringkan tubuh di kasur. Rupanya ada satu pesan masuk. Oh, dari Hoho. Tumben.

Sebuah video. Uh, video apa? Mana ternyata dikirim semalam. Ku tekan tombol putar. Pada awal video, muncul seorang laki-laki yang mungkin seumuranku atau lebih muda dengan piyama khas pasien rumah sakit. Wajahnya tirus, tampak pucat.

Halo, oh udah nyala ya.”

Aku mengerjap. Suara yang sangat familier masuk telingaku.

Aku gak pandai bicara di depan kamera, tapi kakakku menyuruhku untuk melakukan ini karena… operasi ini tidak tau bakal menyelamatkanku atau sebaliknya.”

Sepasang mata sayu yang sendu menatapku — lebih tepatnya kamera.

Izinkan aku memperkenalkan diri, namaku Choi Jongho, kau biasa memanggilku Hoho. Mungkin ini pertama kalinya kau bertemu denganku dalam wujud manusia, bukan avatar seperti di U.”

Butuh waktu untuk ku memproses semua itu. Video ku berhentikan sejenak. Irama detak jantungku sudah tak beraturan. Tidak, semua ini bukan bertanda buruk.

Sebenarnya aku malu untuk merekam ini, terlebih keadaanku sedang seperti ini dan semoga U bisa menerjemahkan ucapanku dengan baik. Sayang sekali kalau aku udah berbicara panjang tapi kau tak memahaminya.”

Sebuah kekehan kecil menyapa pendengaran. Suaranya terdengar lebihh berat dan serak ketimbang saat bercakap-cakap di U. Hatiku sedikit perih mendengarnya. Seakan ikut merasakan sakit yang ia derita.

Kau mengenalkan diri sebagai Ira. Bukan nama yang familier di negaraku tapi terdengar indah. Seperti bunyi lonceng kecil dalam dongeng peri. Mungkin karena itu pula avatar-mu peri. Aku penasaran dengan kau yang sebenarnya. Orangnya pasti secantik peri dalam dongeng.”

Aku menggeleng seraya menahan tangis yang sebentar lagi tumpah.

Aku tak pernah mengenalmu secara langsung tapi kau yang menemani hari-hari sepiku di rumah sakit. Selagi masih sempat aku ingin mengucapkan terima kasihku.”

Sebuah senyum dari bibir pucat. Napasku semakin tercekat. Air mataku tumpah.

Terima kasih untukmu yang bahkan tak pernah ku lihat sosoknya dalam pandanganku. Terima kasih untukmu yang menjadi orang pertama yang mendengarkan nyanyianku di saat aku ingin menyudahi semuanya, menyerah pada penyakit yang menrenggutku. Terima kasih tetap mendengarku sekalipun kau tak mengenaliku. Terima kasih untuk segalanya.”

Aku tidak kuat untuk menontonnya lagi. Ku letakkan ponsel dengan video yang masih terputar. Tanganku mengambil bantal dan ku kuburkan wajahku padanya. Merendam tangis.

Setelah ini, entah aku akan kembali atau tidak. Tapi keputusanku sudah bulat untuk menerima operasi ini. Maaf jika kau merasa risih dengan video ini, kau bisa menghapusnya jika merasa tak nyaman. Yang penting ucapan terima kasihku sudah tersampaikan. Sampai jumpa di lain waktu. Terima kasih, Ira.”

Suara pada video terhenti. Sunyi menelan segalanya. Hanya isak tangisku yang menggema di sudut kamar. Kenapa semua ini terasa sesak? Bahkan aku tak pernah mengenal sosok itu. Siapa kau yang bahkan tak pernah ku kenal dengan baik sosoknya? Hanya sebatas menemani ketika ia bernyanyi menghibur para avatar yang berlalu-lalang.

“Kau bahkan pergi sebelum aku bisa mengenalmu.” Aku mengusap air mata yang tak berhenti mengalir. “Ah, sial. Kenapa terasa sakit?”

Dengan pipi basah, ku mantapkan diri untuk kembali menatap ponselku. Ku simpan video itu dalam folder berkas penting. Aku tidak akan membuang atau pun menghapus video itu. Semua itu terlalu berharga.

Saat aku berusaha menenangkan diri. Rupanya ada pesan lain dari Hoho yang belum ku buka. Sebuah file suara dengan pesan di bawahnya yang ditulis dengan bahasa ibunya. Untung sekali U punya teknologi untuk menerjemahkan pesan.

Aku merekam ini hanya dengan ponsel jadi mungkin hasilnya tidak bagus. Tapi ini hadiah dariku ^^ Maaf jika suaraku jelek :( aku capek menangis gara-gara kakakku menangis mendengar diagnosa penyakitku.

Ku tarik napasku, kembali menyiapkan hatiku. Pesan suara yang diawali dengan suara petikan gitar yang sudah ku hafal di luar otak nada-nada yang mengalun. Suara serak karena terlalu lama menangis masuk kemudian. Pelafalan bahasa yang belepotan tapi terasa hangat saat mendengarkannya. Lagu itu sekarang terasa hangat ketika didengarkan, seperti mendengarkan lagu nina-bobo.

Perlahan, aku merasa mengantuk. Mungkin karena lelah menangis atau karena suara Hoho yang nyaman. Kesadaranku tinggal seujung kuku ketika petikan gitar mulai menutup lagu.

Terima kasih lagi, Ira.”

Kesadaranku sempurna terenggut. Mengantarkanku pada mimpi gelap dan nyaman.

Kala kau bertanya tentang pada ku perihal waktu, seharusnya saat itu aku sudah mengerti. Kalau waktumu tidak akan lama lagi.

Chapter 5

Summary:

Maka di ujung perpisahan kita, ku ucapkan, "sampai jumpa lagi."

Chapter Text

Sudah beberapa waktu terlewatkan? Aku tak menghitungnya dengan baik. Banyak cerita yang tak ku kisahkan. Termasuk Ridwan yang entah bagaimana ceritanya bisa meluluskan studinya di bidang fisika. Aku dan Satria sampai menganga saat dia wisuda. Bunda masih baik-baik saja di rumah dengan usaha kuenya. Satria dengan berani mengambil pendidikan dokter dengan otaknya yang pas-pasan. Bukan aku yang berkata tapi dia sendiri.

Saat ini aku berdiri menatap panel berisi guci yang bertuliskan aksara asing yang berisikan abu mayat. Sejumlah foto juga diletakkan di samping guci. Aku tersenyum kecil.

“Sudah lama sekali. Apa kau masih mengenaliku?”

Entah bagaimana aku bisa di sini. Awalnya, Ridwan yang mengajakku untuk menemani dia riset soal penelitiannya. Kata dia sekalian jalan-jalan. Aneh dia itu, bukan ngajak Satria yang pacarnya malah aku. Eh, tapi Satria sibuk dengan studinya jadi tidak bisa menemani Ridwan.

Jadi di sinilah aku, berdiri di negara tempat Hoho berada. Dengan bantuan keahlian Satria dalam bidang komputer — iya, Satria itu pinter komputer dan segala antek-anteknya tapi malah ambil jurusan pendidikan kedokteran — Aku mendapatkan kontak kakak Hoho. Syukur sekali ternyata kakaknya ramah.

Aku memberitau dia kalau aku akan ke negaranya untuk menemani temanku riset. Kakaknya Hoho sangat senang, katanya tak sabar bertemu denganku. Dia juga yang menawari tempat menginap untukku dan Ridwan. Sayang sekali ternyata tempat riset Ridwan terpisah jauh dengan rumah kakak Hoho. Akhirnya kami memutuskan untuk berpisah saja. Ridwan pergi ke tempat riset dan aku ikut kakaknya Hoho. Walau awalnya terasa canggung tapi karena kakaknya ramah aku mudah menyesuaikan diri.

“Aku kemari, menyapamu sejenak. Sudah berapa tahun sejak terakhir kau bercakap denganku, itu pun lewat U.” Ku tatap foto yang terpajang.

Karakter Hoho di U ternyata sangat mirip dengan dirinya di masa-masa lalu. Seperti bayi beruang. Pipi gembil dengan netra bulat yang berbinar. “Aku tak pernah menghapus video yang kau berikan dan lagu yang kau nyanyikan selalu ku dengarkan sebagai lagu pengantar tidurku.”

Ku hela napas. “Hidupku, entah bisa dibilang baik atau tidak tapi aku menikmatinya. Terima kasih juga untukmu yang membantuku melewati masa sulitku. Kata perpisahan dariku belum aku sempat ku ucapkan, bukan?”

“Ku harap ini hanya sekedar perpisahan sejenak. Sekalipun kematian merenggutmu, tapi kenanganmu hidup dalam ingatanku.” Ku usap kaca yang melindungi guci di dalamnya. “Sampai jumpa lagi, Jongho. Barangkali, di suatu waktu, di lain cerita atau di lain dunia kita bisa bertemu lagi.”

Aku menghela napas sekali lagi. Melepaskan semua perasaan yang membelenggu. “Aku pergi.”

Kakaknya, namanya Yunho, menunggu di luar ruangan pemakaman. Ia tersenyum menyambutku. “Sudah?”

Ku anggukan kepala. “Terima kasih sudah mengantar saya.”

Dia menggeleng ringan. “Aku sudah penasaran sejak lama sosok yang dia temui hampir setiap hari ketika dia bermain di U.”

“Eh?” Aku mengerjap pelan.

Kak Yunho tertawa. “Dia selalu memujimu, namamu lucu seperti peri kecil. Ternyata kau benar seperti peri kecil.”

Aku hanya terkekeh kikuk. Wajahku terasa kebas.

“Sudah bertahun-tahun tapi aku tak bisa melepas adikku. Mungkin Tuhan mengirimmu kemari untuk memberiku pelajaran, bahwa aku harus melepas adikku. Sama sepertimu yang tegar melepas semuanya di depan abunya.” Kak Yunho menatap langit yang cerah tak berawan. “Pada kunjungan berikutnya aku akan masuk dan menyapanya.”

Aku tertegun sedikit. Jadi selama ini kak Yunho hanya menatap dari luar, tak berani melangkah masuk? “Beratkah? Maksudku, seberat itu Kakak melepas Jongho pergi?”

Kak Yunho mengulas senyum pedih. “Bahkan kenangan sebelum dia menghela napas terakhirnya masih tercetak jelas. Dia satu-satunya keluargaku yang masih setia menjaga kakaknya, setelah kedua orang tua kami memutuskan memilih jalan mereka masing-masing, meninggalkan kami.”

Aku ikut memandang langit cerah. Kembali mengingat kenangan ayah yang tersusun rapi dalam rak-rak kenanganku. “Kalau melepasnya begitu berat, lepas saja perlahan. Semua itu tidak perlu dilakukan terburu-buru. Akan ada waktunya ketika kita pelan-pelan memahami semua itu dan pada akhirnya akan melepaskannya dengan hati lapang.” Semua itu keluar begitu saja dari mulutku.

“Ah, maafkan saya jikalau menyinggung Kakak.” Aku buru-buru menutup mulutku.

Kak Yunho tertawa. “Mungkin benar Tuhan mengirimmu untuk merelakan semua ini.”

Aku terkekeh lagi. “Semoga.”

“Ayo kembali, akan ku traktir makan.” Kak Yunho beranjak meninggalkan tempatnya.

Ku anggukkan kepalaku sebelum menyusul langkahnya yang panjang. Sejenak, ku dengar angin berbisik, “terima kasih sudah berkunjung. Aku masih ingat denganmu.”

Ku tolehkan kepalaku.

“Ira! Ku tinggal ya!” seru kak Yunho dari kejauhan.

“Ah, tunggu Kak!” Ku langkahkan kakiku setengah berlari, menyusul kak Yunho.

Angin kembali berdesir. Terdengar seperti suara tawa di pendengaranku. Membuatku ikut tersenyum. Kenangan ini, tak buruk juga.

Melepasmu, bukan sesuatu yang buruk. Ini sebuah bentuk rasa rinduku padamu, bentuk rasa hormatku terhadap kehidupanmu yang telah berpindah seutuhnya. Aku mengenangmu, selalu. Kau yang berada di sana, bermil-mil jauhnya dariku.

Notes:

Glosarium :

Aing : bahasa sunda artinya ‘aku’.
mbek : bahasa jawa artinya ‘dengan’.
kon : bentuk kasar dari ‘kowe’ artinya ‘kamu’.
gusti : bahasa jawa artinya ‘tuhan’.
geulis pisan : bahasa sunda artinya ‘cantik banget’.
Busking : pertunjukkan jalanan.