Chapter 1: Sudikah kamu merenggut...
Chapter Text
Hening.
Mungkin sama seperti biasanya, jikalau tak ada hal yang mengganggu pikirannya.
Sejak kapan itu terjadi?
Entah...
Apa malam itu?
Bagaimana cara menyudahinya?
Atau cara... meludahinya?
Cahaya pagi yang redup menyelinap melalui jendela kaca patri gereja, memecah kegelapan ruangan menjadi semburat warna merah, biru, dan kuning yang lembut. Siapapun yang sengaja datang sepagi ini, tentu membutuhkan ketenangan di dalam batinnya.
Di baris bangku paling belakang, Yunho Luke Matteus, duduk dengan tubuh merosot, seolah tak mampu menahan beban yang menggenggam jiwanya. Bangku kayu di bawahnya terasa dingin, keras, dan asing meski ia telah menghabiskan ratusan Minggu di tempat ini.
Dan itu tak diam.
Tangannya mencengkeram jam tangan di pergelangan kiri, seol,ah menyembunyikan sesuatu. Jari-jarinya mengelus permukaan logam yang sudah usang itu dengan gerakan yang tak sadar, seakan mencari sesuatu yang hilang—atau sesuatu yang tak pernah ada. Jarum jam bergerak pelan, yang mana setiap detiknya terasa seperti pukulan kecil di dadanya, mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ia terjebak dalam kegelisahan yang tak berujung.
Tenang, Yunho...
Tenanglah.
Ucapan itu seperti mantra yang kosong. Kakinya tak bisa diam. Tumit sepatunya mengetuk lantai batu dengan irama yang kacau, kadang cepat, kadang melambat, seolah mencerminkan pergolakan yang mengaduk-aduk pikirannya. Yunho menggigit bibir bawahnya, matanya menatap kosong ke arah altar di ujung ruangan, tempat salib besar tergantung dengan penuh wibawa.
Sudah sejak lama, gereja ini adalah rumah keduanya. Sejak kecil, ia diajarkan untuk mencari Tuhan di antara dinding-dinding batu yang kokoh ini, di bawah aroma lilin yang menyengat dan nyanyian puji-pujian yang menggema. Bersama kedua orang tuanya, walau kini hanya sendirian. Yunho adalah anak yang taat—selalu hadir di kebaktian, tak pernah melewatkan doa malam, dan rajin membaca Alkitab yang kini tergeletak di sampingnya, kulitnya sudah pudar karena usia.
Itu masa lalu.
Atau masa-masa ketika Yunho masih membiarkan hal-hal yang tak bisa dirasakannya, seolah ia tengah rasakan.
Kedamaian seharusnya bisa menyapanya di tempat ini. Tidak seperti sekarang, seolah ada lubang di dadanya, sesuatu yang gelap dan berat, yang membuat setiap napas terasa seperti perjuangan.
Yunho menunggu.
Seseorang?
Ya, tapi bukan.
Untuk apa, ia sendiri tak yakin. Mungkin sebuah tanda, mungkin sebuah jawaban.
Matanya sesekali melirik ke pintu masuk gereja, berharap sesuatu akan terjadi, namun hanya keheningan yang menjawab. Napasnya tercekat saat ia merasakan getaran halus di pergelangannya—bukan dari jam tangan, melainkan dari jantungnya sendiri yang berdetak tak beraturan. Yunho memejamkan mata, mencoba mengusir bayang-bayang yang terus merayap di pikirannya, tapi mereka tak mau pergi. Gambar-gambar itu muncul tanpa diundang: api yang tak padam, suara yang berbisik di kegelapan, dan perasaan dingin yang merambat di tulang punggungnya.
Lihat.
Bukankah efeknya sudah sedalam ini?
Yunho menggeleng pelan dengan rapuh, seolah bisa mengusir semuanya dengan gerakan sederhana itu, tapi kegelisahan itu tetap bertahan, seperti noda yang tak bisa dihapus.
Tiba-tiba, derit pintu kayu tua di ujung ruangan memecah kesunyian. Suara itu pelan, hampir tak terdengar. Hanya saja bagi Yunho yang memang menantikannya, itu seperti lonceng yang mengguncang seluruh tubuhnya. Yunho pun menahan napas, tangannya mencengkeram lebih erat jam tangan itu hingga pergelangannya terasa sakit.
Langkah-langkah ringan menggema di lantai batu, mendekati bilik pengakuan dosa di sudut gereja.
Yunho tahu, tanpa perlu melihat, bahwa yang ditunggunya telah tiba. Sosok itu melangkah masuk ke bilik, dan tirai beludru merah di pintu berdesir pelan sebelum kembali diam. Jantung Yunho berdetak lebih kencang, seperti drum yang dipukul dengan panik. Yunho ingin bangkit, ingin lari, tapi kakinya terasa terpaku di lantai. Baru setelah beberapa saat, dengan susah payah, ia memaksa dirinya berdiri. Langkahnya ragu, hampir tersandung, saat ia berjalan menyusuri lorong sempit menuju bilik itu, seolah ditarik oleh kekuatan yang tak bisa ia lawan.
Di dalam bilik pengakuan, udara terasa pengap dan berat, seolah menyimpan rahasia-rahasia yang terucap selama bertahun-tahun. Yunho duduk di bangku kayu yang sempit, tubuhnya terasa terlalu besar untuk ruang kecil itu. Tangannya bertumpu pada lutut, jari-jarinya saling menggenggam hingga buku-bukunya memutih. Dinding kayu di depannya penuh dengan goresan waktu, dan lubang kecil berukir di tengahnya seolah menatapnya seperti mata yang tak berkedip. Di seberang dinding itu, ia mendengar napas pelan seseorang, pastinya adalah pastor yang telah mengenalnya sejak ia masih anak-anak.
Tirai kayu itu memisahkan mereka, namun Yunho merasa telanjang, seolah setiap pikirannya bisa dilihat dengan jelas.
Dan pertanyaan itu tanpa aba.
Semua yang membuat Yunho benar-benar tak berdaya.
"Apa yang ingin kau akui, anakku?"
Pater Antonius, Yunho hapal suaranya. Lembut, namun ada nada penuh wibawa di dalamnya, seperti selalu. Suara itu seharusnya menenangkan seperti biasanya, tapi untuk sekarang itu hanya menambah beban di dadanya.
Yunho membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Tenggorokannya terasa kering, seperti ditutupi debu.
"Janganlah takut. Engkau tahu, Tuhan tak akan menghakimimu."
Benar.
Tuhan... tak akan menghakiminya.
Setidaknya di dunia.
Selama ini, Yunho tidak pernah sekalipun merasakan kesulitan itu.
Yunho menelan ludah, mencoba lagi. Untuk membuka, untuk bertanya.
"Pater," katanya akhirnya, suaranya serak dan nyaris pecah jika saja tak menahan diri. "Apa dosa... yang paling tidak bisa Tuhan ampuni?"
Keheningan yang menyusul terasa abadi. Yunho bisa mendengar detak jantungnya sendiri, setiap pukulan seperti palu yang menghantam dinding dadanya. Yunho menunduk, matanya menatap tangannya yang kini gemetar. Pikirannya berputar liar, melompat dari satu bayangan ke bayangan lain—doa-doa yang ia ucapkan bertahun-tahun, janji-janji yang ia buat kepada Tuhan, dan pertanyaan-pertanyaan yang kini menggerogoti imannya seperti karat.
Yunho ingin mendengar jawaban yang sederhana, sesuatu yang bisa menjelaskan kegelapan pekat yang menyelimuti hatinya, tapi ia tahu itu tak akan mudah.
Pater Antonius menghela napas pelan, suara itu nyaris tak terdengar di balik dinding kayu. "Tuhan Maha Pengampun, anakku," katanya, suaranya penuh kasih yang Yunho cari. "Tak ada dosa yang terlalu besar bagi-Nya, asalkan kita kembali dengan hati yang tulus dan bertobat. Kasih-Nya tak terbatas."
Semua seperti kajian pagi atau malam yang sering dihadirinya dahulu.
Seolah tak ada jawaban yang benar-benar spesifik dapat membantunya.
Kata-kata yang terasa kosong, seperti gema di ruangan yang tak berpenghuni.
Yunho menggeleng pelan, meski pastor itu tak bisa melihatnya. "Bukan itu, Pater," katanya, suaranya kini lebih keras, hampir putus asa. "Saya ingin tahu yang sebenarnya. Dosa apa yang benar-benar tak bisa diampuni? Saya perlu tahu."
Pater Antonius terdiam lebih lama kali ini.
Yunho bisa membayangkan wajahnya di balik dinding—kerutan di dahinya, matanya yang penuh perhatian namun mungkin juga khawatir. Ketika pastor itu akhirnya berbicara, suaranya lebih rendah, lebih hati-hati, seolah menimbang setiap kata.
"Dalam Markus 3:29, Yesus berkata, 'Barang siapa yang menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni selamanya, tetapi bersalah karena dosa yang kekal.' Itulah dosa yang tak terampuni, anakku—penolakan mutlak terhadap rahmat Tuhan, keengganan untuk menerima kasih dan pengampunan-Nya."
Oh...
Seperti itu?
Yunho memang sudah tahu, namun perlu lebih menekankan.
Rasanya... semua perasaan ini terlalu liar untuk menyiksanya.
Yunho mencerna kata-kata itu, tapi mereka tak membawa kelegaan. Sebaliknya, mereka seperti batu yang menambah beban di dadanya. Yunho menunduk lebih dalam, tangannya kini mencengkeram lututnya, mencoba menahan gelombang emosi yang mengancam menenggelamkannya. Hatinya berperang—antara iman yang telah menuntunnya selama ini dan keraguan yang kini merayap seperti racun. Ia ingin percaya bahwa Tuhan akan selalu ada untuknya, tapi ada bagian dirinya yang berbisik, bertanya apakah ia masih layak untuk kasih itu.
Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Yunho pun bertanya parau, "Jika saya... jika saya mulai menyembah iblis, Pater... apa Tuhan akan marah?"
Kata-kata itu terlepas dari bibirnya seperti anak panah yang tak bisa ditarik kembali, dan seketika bilik itu terasa lebih dingin, lebih sempit.
Pater Antonius tak segera menjawab. Keheningan yang menyusul terasa seperti jurang yang dalam, dan Yunho merasa dirinya berdiri di tepinya, menunggu untuk jatuh. Yunho yang menahan napas, matanya terpaku pada lubang kecil di dinding, seolah bisa melihat pastor itu di baliknya.
Tak ada jalan kembali, bukan?
Sejak malam itu, semuanya telah berubah.
Yunho merasa... muak, pada kehidupannya yang sempurna.
Ketika Pater Antonius akhirnya berbicara, suaranya penuh dengan campuran prihatin dan ketegasan. "Anakku, untuk apa kau masih takut pada murka Tuhan, jika pikiranmu sudah mempertimbangkan pengkhianatan sebesar itu?"
Ah...
Itu menusuk Yunho sangat dalam.
Benar juga...
"Apa yang sebenarnya kau cari di sini?"
Pertanyaan yang seperti pisau yang menusuk tepat di jantung kegelisahannya. Yunho merasa dadanya sesak, napasnya tersengal. Yunho ingin menjawab, ingin menjelaskan, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya, bercampur dengan rasa takut, malu, dan sesuatu yang lebih gelap—kemarahan, mungkin, atau keputusasaan.
Sampai semuanya berubah.
Seolah Iblis sudah bersemayam jauh di dalam jerat hatinya.
Tawa kecil yang pahit mengalir dari bibirnya.
Secara tiba-tiba.
Bukan tawa gembira, melainkan tawa yang lahir dari seseorang yang telah lama berkelahi dengan dirinya sendiri dan kini tak tahu apakah ia menang atau kalah. "
"Mungkin saya cuma ingin tahu," katanya pelan, suaranya bergetar, "seberapa jauh saya bisa melangkah sebelum semuanya benar-benar hancur."
Yunho menunduk, tangannya kembali mencengkeram jam tangan itu, jari-jarinya mengelus permukaan logam yang kini terasa panas di kulitnya. Di dalam bilik itu, waktu seolah berhenti, menyisakan hanya dirinya dan kegelapan yang ia bawa. Ia mengangguk pelan, seakan menerima sesuatu yang tak pernah ia ucapkan dengan lantang—sebuah keputusan, atau mungkin sebuah penyerahan.
Ketika Yunho akhirnya bangkit, kakinya terasa berat, seolah lantai di bawahnya mencoba menahannya. Tirai beludru berdesir saat ia keluar dari bilik, dan langkahnya menggema di gereja yang kini terasa lebih kosong, lebih dingin.
Tak Yunho ketahui selanjutnya.
Walau mungkin... keputusannya nyaris mencapai bulat, seutuhnya.
Chapter Text
Tahun lalu, Yunho membeli Lamborghini yang tengah dikendarainya. Kendaraan yang pada akhirnya dia miliki, menggunakan uang dari hasil pekerjaannya usai lulus kuliah sekian tahun yang lalu. Mengenyampingkan mobil-mobil lainnya yang Yunho miliki di rumah, pemberian dari kedua orang tuanya.
Oh, sudah berapa tahun juga Yunho meninggalkan rumah?
Entah, samar.
Yunho hanya ingin kebebasan dan nyatanya, kebebasan selama ini mencekiknya.
Tak pernah ada yang bisa paham.
Ini sangat menyiksa.
Menjadi seorang manusia yang hidup dengan segala kemudahan, benar-benar menyiksanya. Sampai Yunho memilih untuk menyia-nyiakan masa depan, yang sangat orang kolot agungkan.
Apa misalnya?
Menjadi dokter? Menjadi hakim? Menjadi apa, yang mereka anggap adalah manusia yang berhasil.
Tak menyenangkan.
Kala itu, Yunho menggenggam setir Lamborghini-nya dengan satu tangan, atap terbuka membiarkan angin malam menyapu wajahnya yang pucat dan berkeringat. Mobil sport hitam itu melesat di jalanan kosong, suaranya menggelegar. Seolah kebohongan. Jantungnya baru saja ditusuk beberapa waktu lalu oleh ucapan dari Pater Antonius.
Hanya tangan kiri yang Yunho gunakan di seritnya, selagi tangan kanannya terkulai di samping. Mungkin jari-jarinya gemetar tapi mati rasa.
Cahaya lampu jalan memantul di wajah Yunho, menyorot garis-garis kecemasan di dahinya dan bayangan hitam di bawah matanya. Rambut pirangnya berantakan, sebagian menutupi matanya yang kosong, seolah-olah dia mencoba bersembunyi dari dunia.
Yunho merasa seperti dalam pelarian terakhirnya, seolah suara mesinnya seperti teriakan yang dia tak mampu keluarkan.
Tiba-tiba, matanya tertarik pada jam tangannya—mahal. Berkilau dengan logam dingin dan kristal yang sempurna, Rolex yang dulu membuatnya merasa seperti raja.
Hanya saja, apa yang berusaha jam tangan itu tunjukan kepadanya?
Mungkin sebuah pengingat pahit bahwa waktu terus berjalan, sementara dia terjebak.
Dengan gerakan kasar, Yunho melepas jam itu sambil sesekali memperhatikan jalanan. Untuk membuka apa yang telah Yunho sembunyikan. Beberapa bekas, di pergelangan tangannya—garis-garis tipis, pucat, seperti tato kegagalan yang tak bisa dihapus.
Yunho sudah mencobanya.
Dan bukan tidak berhasil—oh, sialan, Yunho tidak akan pernah tidak berhasil.
Hanya berada di ambang ragu.
Juga kebingungan.
Bahkan saking terlalu mudah hidupnya, Yunho merasa tak ada dosa yang pernah dilakukannya. Sehingga Yunho harus dan harus sekali lagi, mendekat pada sumbu Neraka, agar dirinya bisa tenang setiap kali pergi ke Gereja.
Sungguh, Gereja sudah tak semenyenangkan dahulu.
Yunho merasa terlalu bersih untuk meminta ampun.
Itu mengapa, Yunho membutuhkan sesuatu untuk mendekatkannya pada kehidupan, bukan?
Apa itu kematian yang dicarinya?
Mungkin.
Yunho menatap jam yang sudah dilepas di tangannya. Jantungnya berdebar kencang tapi terasa hampa, seperti ruang kosong yang menyerap segalanya.
Hidupnya terasa seperti hanya ilusi.
Untuk apa semua ini jika setiap napas terasa seperti beban?
Lalu apa yang terasa sekarang?
Matanya memanas, tapi air mata tak jatuh; Yunho merasa terlalu lelah, terlalu patah untuk menangis. Hanya ada keputusasaan, seperti lubang hitam yang menghisap harapan terakhirnya.
Dengan gerakan penuh amarah dan penyerahan dari dalam dirinya, Yunho melempar jam itu ke luar, tepat saat Lamborghini melintas di atas jembatan panjang yang menjadi penghubung di atas sungai indah namun dalam.
Di saat itu, sesuatu dalam dirinya juga ikut terlepas—atau mungkin hancur.
Yunho tak pernah paham.
Tanpa ragu, Yunho menginjak pedal gas sampai dasar. Mobil meraung, melesat dengan kecepatan gila, untuk meninggalkan semuanya di belakang.
Yunho ingin sebuah dosa yang tak termaafkan.
Hanya saja sudah bukan untuk meminta ampunan di rumah suci-Nya.
Ah, ya… nyaris saja Yunho lupa.
Yunho harus mampir ke toko bangunan terlebih dahulu sebelum pulang.
+++
Sebuah rutinitas.
Tak pernah ada satu hari absen Yunho lakukan, sejak menjatuhkan dedikasinya.
Ah, mungkin pernah.
Beberapa kali, tapi Yunho langsung menebusnya.
Yunho tak ingin penggemarnya khawatir, bukan?
Pertunjukan dimulai.
LuckyLuke, nama yang Yunho gunakan untuk internet personanya, kini sedang online.
Yunho duduk di depan komputer gaming-nya. Lampu LED biru dan ungu menyala redup di ruangannya, menciptakan aura yang kontras dengan kegelapan di matanya. Tiga monitor besar menyala terang—kanan, kiri dan tengah—menampilkan arus komentar yang berderet cepat. Banyak sekali penonton setianya, ribuan penggemar yang mengidolakannya sebagai gamer streaming yang paling memikat mata.
Berapa pengikut Yunho terakhir kali mengeceknya?
Sekitar… 8 juta?
Oh, itu sangat mengesankan berada di platform streaming yang tidak semua khalayak tahu.
Bagaimana tidak?
Di tempat ini, semuanya bebas dilakukan.
Selain bermain game, ada apa saja pilihan di sini?
Mabuk, judi, menari erotis—atau telanjang, dan beberapa dengan nekat juga bercinta.
Hanya membunuh yang tak boleh.
Juga bunuh diri.
Semua berada di sini demi uang, pun demi tontonan menarik.
Tentu.
Sedangkan Yunho?
Untuk… sesuatu yang lebih menyala di kehidupannya.
Yang sayangnya sampa sekarang masih tak bisa ditemukannya.
Suara chat bot otomatis berbunyi setiap kali ada yang memberikanya tip. Masing-masing bunyinya berbeda. Untuk kisaran kecil, untuk kisaran sedang, untuk kisaran yang fantastis. Semua sudah Yunho hapal di luar kepalanya.
Jadi fokus Yunho hanya pada layar, menatap pantulan dirinya sendiri di monitor yang tertangkap kameranya.
“Hari ini kita tak bermain game, ya.”
roseblossom32
Why tho?
C0ckYstuUUp
Huft :(
JendralSazzam
Aight, Luke, whatever you want.
JendralSazzam sent you 600 Amorta
byuuuel sent you 3 Amorta
romanpicisanboi sent you 25 Amorta
romanpicisanboi
seperti biasa @JendralSazzam paling tajiiiirr
Yunho terkekeh seraya membaca ketikan yang masuk—sengaja melakukannya, agar orang-orang tahu ke mana fokusnya sekarang. Kurang lebih hanya keluhan-keluhan, toh memang mereka sedang menunggunya memainkan sebuah game dengan genre crime-horror yang baru saja rilis.
Teeth, judulnya.
rEverikale
Apa kamu tahu tentang streamer yang overdosis saat sedang live kemarin?
Tentu.
Yunho mengangguk, membalas usai membaca teks tersebut.
“Yup. Jayden, ya? He’s dead now. Poor things.”
ggumdumb
si tolol itu mengisap terlalu banyak
Fractureangel1101
Sayang sekali…
JendralSazzam
Ceritakan harimu, Luke?
JendralSazzam sent you 500 Amorta
gyaruuu
yoooo apa usernamenya?
OrLandO90
@gyaruuu cari saja @/jaydenhoe
MOEEEMT
Anw guys I got his dick pic :D
Nywert7rte
@MOEEEMT send me
boomboombouncy
@MOEEEMT add me bro pls pls
GRAH7349
@MOEEEMT yooooo I can pay for that
Devilmaycriiii
LEMME HAVE THAT @MOEEEMT
Ah…
Yunho berhenti.
Lihat.
Di dunia pertunjukan ini, satu mati, takkan ada yang benar-benar peduli.
Fokus mereka kembali pada hal lainnya.
Sebuah foto penis?
Oh, ya, tentu…
Orang-orang tak peduli dengan nyawa.
Hanya pada foto penis orang yang sudah tiada.
Jadi Yunho pun berpikir sama.
Untuk keputusannya, mungkin… tak perlu meragukannya lagi.
Yunho menyesuaikan headset-nya. Kamera streaming selalu menangkap wajahnya dengan jelas; rambut pirang berantakan, mata yang coba bersinar dan tawa renyah yang menyenangkan.
JendralSazzam
Wait, BRB, off sebentar.
JendralSazzam sent you 150 Amorta
grookLOL
hell is waiting for you jaydeeennn
drumdedoll901
WTF THAT MF GOT EXTRAL COCK
iseenoshit
Cococococo lemme seeee meh
premanddd
ANOTHA DUMB WAYS TO DIE EPISODE
wuY0cook
Anw you look tired bro
wuY0cook sent you 50 Amorta
Dan itu menghentikan Yunho yang hendak berdiri.
Yunho tersenyum, sebelum menangkup pipinya dengan sebelah tangan, dan menggelengkan kepala. “I’m not? Selalu seperti ini, seperti biasanya.”
wuY0cook
Kurang tidur?
“Nah. Hanya…”
Berhenti sejenak.
Yunho menarik napasnya, sebelum mengganti topik mendadak.
“Hei, ada dari kalian yang rajin pergi ke Gereja?”
Soullests5_
My mom
BRUUHH__!
MY SISTER AND MY GIRLFRIEND
Nemesisdeamon
Bruh I SAW A NUN AND A PRIEST FUCKING
horangha3
you lied bitch
gassdorw
proof??
neverevertt
Your mom and your existence is the proof
oLLadnyw
DAFUUKK????!!
“Aku rajin melakukannya. Pagi tadi baru saja.”
gameB0iii
DO YOU BELIEVE IN GOD LUKE?????!!
Arfchee3
LUKE IS MY GOD!!
lolasnms
Heck yeaaahhhh agreeeee
DICKDICKYYY
lukeeee fuck meeeee?????
Marcellahot
Send us ur dick pic too :3
“Sebenarnya aku sedang dalam kegudahan—mungkin itu yang membuat kalian melihatku lelah.”
wuY0cook
Luke :(
wuY0cook
U ok?
wuY0cook sent you 5 Amorta
wuY0cook sent you 5 Amorta
wuY0cook sent you 5 Amorta
Sekalipun ada banyak reaksi, Yunho tak membaca seluruhnya. Pikirannya justru mulai terpusat pada apa yang sekiranya ingin dilakukannya.
Ingin...
Sangat ingin.
Begitu menyiksanya.
“Aku mengenal Pater itu sejak kecil, sejak lama, jadi memang seluruh ucapannya dapat kupercaya.”
wuY0cook
Luke ada apa?
rammiiied
brooooo ayo main game????
GH05TRID3R
JANGAN CUrHAT ITU MEMBOSANKAN
Nnhtttawww
Ahhhhhh menyebalkan
pollooa
FOTO MAYAT JAYDEN TERSEBAR DI DISCORD
ALOERD
DAMN!!!
mayatre
PLEASE INVITE MEEEE @pollooa
Yunho tahu, fokus orang-orang terpecah, tak tertuju padanya. Itu yang membuat Yunho perlahan berdiri dari duduknya, untuk merenggangkan tubuhnya. Ketika seluruh ototnya terasa kaku, Yunho tahu cara membereskannya. Sebentar lagi pun, tak akan ada rasa lelah itu.
“Setelah aku bertanya dosa apa yang paling tak termaafkan, jawaban dari Pater cukup menyulitkan. Permasalahannya, mengenai hal itu, aku tak tahu bagaimana cara menemukannya.”
WendY8
Lukeee??
wuY0cook
Sebenarnya apa yang kau bicarakan?
Dan ketika Yunho berjalan ke samping, tepat di area belakang kursinya, barulah terlihat sesuatu yang sejak tadi tertutup figurnya.
Sebuah tali tergantung di langit-langit—diikat pada palang untuk pull up yang cukup tinggi—dengan simpul yang kuat. Bagian bawahnya membentuk bulatan, bisa masuk satu kepala, dan bisa dieratkan untuk menjerat satu leher.
Oh, Yunho sudah sangat siap.
“Aku tak bisa membuat Tuhan membenciku dengan cara itu, jadi akan kucoba cara lain.”
ranoomsw
LUKE???
WIIHHHeee
GUYS LIHAT LAYAR
wuY0cook
LUKE????
wuY0cook
JANGAN GILA!
wuY0cook
AKU AKAN TELEPON POLISI!
Tiga layar memudahkan Yunho membaca komentar, walau tak sepenuhnya bisa. Rentetan chat masuk terlihat lebih deras, ketika orang-orang sadar bahwa Yunho tengah melompat untuk memegang sebuah simpul yang orang gunakan untuk bunuh diri. Selagi Yunho tidak—belum—melakukannya, hanya justru melakukan pull up dengan satu tangan, sekali.
“Damn, tali ini kuat sekali.”
wuY0cook
LUKE!!!
wuY0cook
LUKE ADA APA???
BRUSTED
looooohhh?
Damenwsus
LUKE MAU BUNUH DIRI???
lniao112l
rekam rekam!!!
OKKSHAD4
Asik! Aku akan menonton dengan senang hati!!
FDOOSwwwre
Konten ini akan menghasilkan banyak uang!
Yunho tak mengharapkan apapun.
Selagi orang-orang hanya mengejar tontonan menarik—walau sebagian memang peduli terhadapnya—dirinya juga sudah merasa bosan dengan dunia ini. Semua kemudahan dalam hidup membunuhnya secara perlahan, sampai Yunho tak ingin lagi bertahan.
Yunho sudah terlalu bosan untuk berdoa ke Gereja, pada Tuhannya.
Yunho juga sudah tidak tahu cara untuk membuat Tuhan lebih memperhatikannya.
Menyembah Iblis, sulit dilakukan.
Yunho tak berniat untuk mempelajari sihir, melakukan ritual, atau segala macam hal aneh seperti memakan bayi hasil aborsi. Yunho hanya ingat bahwa bunuh diri adalah satu hal yang paling dibenci Tuhan juga, dan itu satu-satunya cara agar ia terlepas dari kebosanan ini.
Maka jalan itu diambil.
Yunho melompat untuk mencapai peyanggap pull up-nya, agar dirinya bisa lebih mudah setelah itu.
Lebih mudah untuk mengalungkan tali itu di lehernya.
Jadi ini kali terakhir, Yunho membaca pesan yang bertumpukan cepat di layarnya.
“Aku tak mengurus tentang hartaku, tapi jika kalian menemukanku, ambil saja. Aku sudah bosan.”
Yunho berucap lagi, mengabaikan seluruh bentuk kekhawatiran pun kesiapan orang-orang untuk satu keputusan mendadak, tanpa aba darinya. Yunho menahan tubuhnya, sampai terasa otot lengannya mengencang, membuat urat-uratnya menonjol, di kulit putih bersihnya.
“Aku bosan karena hidup ternyata tidak seperti game yang kumainkan. Ujungnya tak tampak, tujuannya pun tak jelas. Sudah lama sekali aku merasakan kehampaan ini, karena semua hal hanya berjalan dan berlalu begitu saja. Tak ada yang berbekas.”
wuY0cook
LUKE DON’T DO THIS!!
wuY0cook
PLS PLS PLS DON’T!
JendralSazzam
HOLY FUCK!
JendralSazzam
I’M CALLING THE POLICEEDSS
JendralSazzam
WTF DUDE
Yunho ingat, betapa kedua orang tuanya begitu memanjakannya. Sampai Yunho merasa tidak seperti teman-teman sepermainannya dahulu, yang juga kaya raya, tapi dituntut untuk menjadi sempurna. Semua hal yang membuat mereka kini menjadi orang sibuk, terarah, dan memiliki tujuan.
Dirinya tak diberikan apapun.
Yunho diberikan kebebasan dan... sungguh, kebebasan itu tak menyenangkan.
Ini membosankan...
Sangat membosankan...
Hidupnya sangat membosankan...
“Mungkin ini selamat tinggal dariku?” Yunho berucap, sambil menghela napas, untuk meyakinkan dirinya akan rasa sakit yang akan dirasakannya, untuk mencapai ketenangan abadi. “Tuhan membenci umatnya yang mengakhiri nyawa sebelum Dia melakukannya. Jadi aku ingin menantangnya, karena... tak ada Iblis yang bisa kusembah—“
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
Uuhhgsa
DAMN WHO THE FUCK IS THAT
769216TUTT
???????
moilopoo
MF IS RICH RICH
Dan Yunho terhenti.
Kedua matanya membesar, melihat ada nama baru yang Yunho yakin tak pernah ia baca sebelumnya.
Memintanya untuk...
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain
Kill yourself.
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
TheCaptain sent you 1000 Amorta
“Fuck...”
Tak sadar Yunho justru tertawa melihatnya, merasa tertantang. Yunho mengangguk pada ucapannya, seraya pelan mengalungkan tali itu di lehernya. Kini, Yunho menahan dirinya—beban tubuhnya—pada penyangga pull up dengan kedua tangan. Menunggu waktu untuk melepaskan diri, dan membuat dirinya menghadap Tuhan.
“Easy boy, I’ll fucking do it now.”
Kini Yunho menarik napasnya lagi, cukup panjang.
Tanpa mengeratkan talinya di leher, Yunho menjilat bibir bawahnya, siap untuk melepaskan diri.
TheCaptain
I will make sure God despises you so much that even the Devil won’t bother to defend you.
Dan itu...
TheCaptain sent you 10000 Amorta
Menggairahkan.
Yunho terselip, tak sadar bahwa kedua otot di lengan kanan dan kirinya terlalu tegang, sampai pegangannya mengendur. Tak adanya kursi di bawahnya, membuat Yunho tak memiliki tumpuan, saat tali mengencang, menjerat lehernya. Yunho tahu bahwa kedua matanya melotot, mungkin bisa saja melompar keluar, membuatnya dapat melihat lebih jelas lagi bahwa siapapun di balik itu, mengirimkan bukan hanya 1.000 Amorta yang tak pernah ada melakukannya secara berulang, tetapi justru 10.000 Amorta.
Harga yang bisa dicairkan untuk membeli rumah di bukit sekalipun.
Siapa yang mau membuang begitu banyak uang untuk melihatnya mati?
Ketika orang-orang hanya bicara...
Yunho mendapatkan balasan nyata.
Bahkan...
Bahkan sesuatu darinya, yang mengatakan bahwa, Iblis pun takkan sudi untuk membelanya.
Sungguh, perkataan begitu jahat... tapi itu membuat Yunho sangat bersemangat, ingin tahu siapa di baliknya.
Sayangnya, tali ini mengencang dan tubuh Yunho menjadi sangat panas dan tegang, dari ujung kepala sampai kakinya. Yunho terus memberontak, ingin menjilat ludahnya sendiri, bahwa dirinya tak sanggup untuk mati sekarang.
“KKkhhh—akhhh, kkkrrrhhhh!”
Yunho tak ingin mati sekarang...
Yunho tak ingin...
Yunho benar-benar tak ingin kehilangan Iblis yang akhirnya bisa dirinya temukan, untuk mencapai murka Tuhan, dalam dunia membosankan ini.
TheCaptain
We’ll meet in Hell, and I’ll make sure you kneel before me there.
Fuck...
Jangan mati sekarang...
Aku ingin bertemu Iblisku...
Tolong... Tuhan?
Bukankah Kau selalu memudahkan keinginaknku?
Notes:
Bagaimana menurut kalian untuk chapter pembuka ini? Gila? Masih lebih gila di depan sana, so please kindly leave me some review? Hihi <3
ak47ira on Chapter 2 Fri 20 Jun 2025 02:10AM UTC
Comment Actions
luxoreitijeu on Chapter 2 Sat 21 Jun 2025 04:56PM UTC
Comment Actions