Actions

Work Header

owned

Summary:

Pertemuan itu seharusnya berakhir di masa lalu. Namun Gyujin kembali berada dalam genggaman Seong Jun, di bawah kendali yang selalu mengklaimnya sebagai milik.

Notes:

ini cerita JOROK BANGET nyerempet pekob atau emang pekob sih, nulis ini tuh gabut karena kangen berat sama giyoon dan ga ada au baru tentang mereka, ini ceritanya redflag abis Let me know if there is a trigger warning that I haven't included yet
maaf kalo jelek pertama kalinya nulis di sini:(

Chapter 1: a slave

Chapter Text

Suara kicauan burung membangunkan Gyujin, kelopak matanya perlahan terbuka. Ia sedikit terkejut ketika dada bidang seseorang yang pertama kali ditangkap oleh penglihatannya. Kepalanya sedikit mendongak, Gyujin menghela nafas lega sosok itu ternyata Seong Jun. Ah, seharusnya ia tak bernafas lega, jika Seong Jun ada di sini artinya harinya akan melelahkan di bawah kendali pria itu selama dua puluh empat jam. Gyujin mencoba bangun terlepas dari pelukan erat Seojun yang justru membangunkan Si Empu pemilik lengan yang melingkari pinggangnya.

“Ini sabtu pagi tidur lah lebih lama,” gumam Seong Jun dengan mata masih terpejam. Gyujin melirik jam dinding yang terpajang apik di kamarnya menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Untuk seseorang yang telah bekerja sepanjang hari senin hingga jumat, akhir pekan akan mereka habiskan dengan tidur adalah hal yang wajar. Namun, Gyujin tidak punya kesibukan di hari senin hingga jumat. Harinya justru melelahkan di sabtu dan minggu karena sosok yang tengah memeluknya akan mengganggunya. Gyujin kembali mencoba lepas dari pelukan Seong Jun membuat pria itu membuka matanya dengan kesal dan mengeratkan pelukannya.

“Diam dan tidurlah, kamu mau ke mana?” ujar Seong Jun kemudian menghujani setiap inci muka Gyujin dengan ciuman.

“Aku lapar,” jawab Gyujin mencoba menghentikan Seong Jun dengan menolehkan kepalanya menghindar dari ciuman pria itu.

“Aku juga lapar biarkan aku memakanmu.”

Tangan Seong Jun bergerak naik masuk ke dalam piyama satin biru dongker milik Gyujin, membelai lembut punggung pria lebih kecil di dekapannya. Ciuman Seong Jun beralih ke leher Gyujin, menghirup aroma sabun mandi mint yang menempel di kulit pemuda itu. Seong Jun bersumpah, ia tidak akan pernah bosan dengan aroma tersebut, ini sungguh candu dan memabukkan baginya.

Kruk.

Suara perut kelaparan Gyujin menghentikan pergerakan Seong Jun. Pemuda kecil di dekapannya tak berbohong ketika ia mengatakan kelaparan. Seong Jun kira itu hanya akal-akalan Gyujin untuk kabur darinya. Pelukan Seong Jun terlepas, Gyujin segera bangkit dari tempat tidur membetulkan piyamanya yang sempat tersingkap hingga dada, lalu melangkah keluar kamar tanpa menoleh ke belakang untuk memperhatikan Seong Jun.

Seong Jun tersenyum menyeringai, sudah hampir tiga bulan dan Gyujin tetap bersikap dingin padanya. Seong Jun ikut bangun dari tempat tidur dan melangkah ke arah balkon, mengabaikan fakta bahwa dirinya tengah bertelanjang dada hanya mengenakan celana piyama biru dongker serasi milik Gyujin. Rumah ini berada di kawasan elit perbukitan pinggir kota yang memerlukan waktu tempuh setengah jam dari pusat ibukota. Balkon rumah akan berhadapan dengan hutan kecil pribadi sehingga privasi dengan tetangga begitu terjaga. Jangan lupakan pemandangan gemerlap lampu ibukota di malam hari yang begitu indah membuat rumah ini punya harga sangat tinggi. Tentu saja itu sebanding, jika orang lain menganggap ini adalah rumah yang nyaman, maka Seong Jun menganggap rumah ini penjara yang bagus untuk Gyujin-nya.

Tangan Seong Jun meraih sebungkus rokok di meja balkon yang tertinggal semalam sebelum ia bergabung di atas tempat tidur bersama Gyujin. Seong Jun meraih sebatang rokok menyelipkannya di antara bibir kemudian menyalakan pemantik untuk membakar ujung rokok. Wajah maskulin itu sempat tertutupi asap rokok selama beberapa detik. Seong Jun berdiri di dekat pagar balkon. Sementara tangan kanannya sibuk mengapit rokok, tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana. Penampilan Seong Jun pagi ini di kediaman privatnya sungguh menggoda. Omega wanita atau pria manapun yang melihatnya saat ini mungkin akan terpaku melihat Seong Jun. Seolah pria itu adalah hidangan lezat yang membuat siapapun menjadi gila untuk memperebutkannya, tapi tidak dengan Gyujin.

Seong Jun mematikan rokoknya dengan satu tekan keras di asbak. Ia kembali masuk ke dalam rumah. Sandal rumah yang Seong Jun kenakan beradu dengan lantai keramik. Di hari sabtu dan minggu, semua pelayan dan penjaga akan pergi ke rumah kecil belakang khusus para pelayan. Mereka tidak diizinkan masuk ke dalam rumah utama kecuali dipanggil oleh Seong Jun, sehingga rumah sebesar ini hanya dihuni dua orang terdengar begitu sunyi. Seong Jun menuruni tangga menuju dapur yang berada di lantai satu untuk menemukan punggung sosok tengah fokus menatap pancake yang mengembang. Seong Jun mendekat ke arah lemari pendingin di samping pemuda itu. Pintu kulkas terbuka menyemburkan udara dingin dan menampilkan rak-rak nyaris kosong. Seong Jun meraih sebotol air mineral dan menutup kembali pintu kulkas. Seong Jun mengangkat botol itu dan meneguk airnya beberapa kali, membiarkan sensasi dingin menyegarkan tenggorokannya.

“Kulkasnya hampir kosong, kita harus belanja hari ini,” ucap Seong Jun sembari meletakkan botol di meja pantry. Ia mendekat ke arah Gyujin, tangannya masuk ke dalam piyama melingkari pinggang Gyujin. Ibu jari Seong Jun mengusap lembut perut pemuda dalam dekapannya. Gyujin sempat terkejut sesaat. Dari jarak sedekat ini ia dapat merasakan deru nafas hangat Seong Jun di lehernya. Seong Jun meletakkan kepalanya di bahu Gyujin.

“Kau juga membuatnya untukku?” tanya Seong Jun melihat beberapa pancake yang sudah matang. Ia yakin Gyujin tak mampu untuk menghabiskan itu semua, jadi Seong Jun memilih percaya diri jika beberapa pancake itu untuk dirinya.

“Terima kasih,” ucap Seong Jun dan menghadiahi Gyujin kecupan di pipi dan pucuk kepala pemuda itu.

“Duduklah dan tunggu,” ujar Gyujin yang merasa terganggu dengan aksi Seong Jun. Seong Jun menuruti perkataan Gyujin, menuju di meja makan yang kecil yang tergabung dengan pantry. Seong Jun memperhatikan tubuh yang lebih mungil darinya itu bergerak, mengambil piring untuk menyajikan pancake, menuangkan segelas susu, kemudian meletakkan semua hasil karyanya di depan Seong Jun.

Keduanya duduk berhadapan, kegiatan sarapan berlalu diisi dengan suara dentingan sendok garpu tanpa ada obrolan dari mereka berdua. Seong Jun menghabiskan sarapannya dengan cepat. Pria itu bangun dari kursinya mengangkat piring dan gelas yang kosong. Gerakan sederhana Seong Jun tampaknya memiliki efek tertentu bagi Gyujin. Tubuh Gyujin sedikit gemetar seolah akan ada sesuatu yang menyiram kepalanya. Mendapati hal tersebut, Seong Jun menyeringai. Ketakutan Gyujin terhadap dirinya ternyata masih ada dan itu membuat Seong Jun senang yang berarti pria kecil itu masih di bawah kendalinya.

Seong Jun meletakkan piring dan gelas kosong di wastafel. Ia kembali dengan memindahkan kursinya di samping Gyujin. Seong Jun duduk memperhatikan Gyujin dari samping, pipi omega itu membulat mengunyah pancake yang menurutnya sungguh menggemaskan. Dalam hitungan detik, posisi duduk Gyujin berpindah dari atas kursi menjadi di atas paha Seong Jun dengan posisi menyamping. Oh, sungguh Gyujin benci tubuhnya bagaimana merespon posisi mereka saat ini. Fakta bahwa ia duduk di pangkuan Seong Jun dan merasakan gundukan di antara paha pria itu sungguh menyebalkan. Gyujin mengutuk semua piyama yang berbahan tipis itu, terakhir kali ia duduk di pangkuan Seong Jun pria itu mengenakan pakaian kerja dengan celana berbahan tebal sehingga menyamarkan gundukan itu. Kini gundukan itu terasa lebih jelas di antara belahan pantatnya dan ia benci tubuhnya terangsang hanya karena hal itu.

“Ah, kamu harus makan lebih banyak, tubuhmu ringan sekali,” gumam Seong Jun. Tangan pria itu kembali masuk ke dalam piyama Gyujin, mengelus perut dan punggungnya dengan lembut. Tampaknya tangan Seong Jun begitu gemar menelusup di balik pakaian Gyujin untuk merasakan halusnya kulit omega itu.

“Aku ingin memakanmu.”

“Aku belum selesai,” ucap Gyujin sembari memasukkan potongan pancake ke dalam mulutnya.

“Hm,” sahut Seong Jun dan menenggelamkan wajahnya di dada Gyujin menghirup aroma mint yang membuatnya ketagihan. Gyujin tak peduli ia tetap menghabiskan potongan demi potongan pancake di piringnya sampai tak menyisakan apapun, serta menghabiskan segelas susu hingga tandas. Tepat setelah Gyujin meletakkan gelas kosongnya, Seong Jun tak memberi jeda untuk mengangkat pria kecil itu duduk di pantry dan melahap bibir mungil itu. Seong Jun melakukannya dengan lembut dan perlahan, meski dalam hatinya ia tak sabar untuk segera melakukan kegiatan inti. Namun, tempo perlahan terasa lebih menyenangkan dengan menikmati setiap momen.

Gyujin diam tak membalas ciuman Seong Jun. Namun, juga tak menolak ciuman pria itu. Ia membuka mulutnya mengizinkan pria itu untuk melakukan apapun pada tubuhnya. Ada rasa pahit yang Gyujin rasakan. Ia menebak Seong Jun pasti baru saja merokok. Tangan Seong Jun bergerak menuntun lengan Gyujin untuk melingkar di lehernya. Seong Jun bersyukur terlahir dari keluarga kaya raya hingga ia mampu membeli puluhan atau bahkan ratusan pakaian untuk mengisi walk in closet rumah ini, salah satunya termasuk piyama ini. Piyama ini adalah satu set untuk berpasangan, Seong Jun mengenakan piyama pria yang terdiri dari celana panjang dan atasan berlengan panjang. Namun, ia hanya mengenakan celana nya karena lebih suka tidur bertelanjang dada. Gyujin punya tubuh lebih kecil sehingga piyama wanita yang terdiri dari celana pendek dan atasan lengan pendek lebih pas di tubuhnya.

Sejak Seong Jun duduk di samping Gyujin, ia menahan hasrat menerkam lelaki kecil itu hanya karena celana pendek yang dikenakannya tersingkap lebih pendek sejengkal dari selakangan ketika si pemakai duduk. Seong Jun pikir ia harus menahan diri, Gyujin harus makan dan punya energi untuk meladeninya hari ini. Tidak lucu, jika di tengah-tengah kegiatan bercinta mereka harus diselingi suara perut kelaparan. Membayangkannya saja membuat Seong Jun kesal.

Telapak tangan Seong Jun mengelus paha Gyujin dengan lembut. Mengangkat paha pria kecil itu untuk melingkari pinggangnya. Selanjutnya, Gyujin sudah sepenuhnya berada dalam gendongan koala, sementara pria itu masih mencumbu bibirnya. Seong Jun memposisikan kedua tangannya menangkup bokong Gyujin untuk menahan bobot pria mungil itu di dalam gendongan. Seong Jun berkata jujur jika Gyujin harus makan lebih banyak. Selain karena Seong Jun ingin Gyujin lebih sehat dan terbebas dari tubuh ringkih itu, ia ingin bokong Gyujin lebih berisi dan memenuhi telapak tangannya untuk seperti saat ini. Sebenarnya bokong Gyujin sudah pas akan tetapi Seong Jun merasa akan sedikit lebih menggairahkan jika itu sedikit lebih berisi. Seong Jun tak berhenti meremas bokong Gyujin dan ciuman keduanya juga tak terputus selama mereka menuju tempat bergumul mereka di lantai dua.

Dapur kini sunyi meninggalkan piring dan gelas kosong Gyujin yang belum dipindah ke wastafel. Pelukan Gyujin mengerat kala Seong Jun mulai menaiki satu-persatu anak tangga. Keduanya sampai di depan kamar tidur, Seong Jun menendang pintu kamar untuk memudahkan mereka masuk tanpa repot-repot menutup pintu kembali. Seong Jun tidak perlu khawatir orang lain memergoki kegiatan bercinta mereka berdua karena saat ini hanya ada mereka berdua di rumah ini.

Seong Jun meletakkan tubuh Gyujin perlahan di atas kasur mereka. Ciuman mereka terputus, dahi keduanya saling menempel sehingga dapat merasakan hembusan nafas satu sama lain. Keduanya meraup oksigen sebanyak mungkin. Seong Jun berpindah ke leher Gyujin, menyesap kulit beraroma mint itu hingga kemerahan membekas. Tak cukup satu, Seong Jun harus membuat banyak tanda kepemilikan di leher seputih susu itu. Disela-sela kegiatan layaknya melukis di atas kanvas, Seong Jun perlahan melepas kancing atasan piyama Gyujin. Terima kasih kepada kain satin bahan piyama Gyujin yang dengan mudahnya terlepas. Melihat hasil karyanya yang sudah cukup penuh di leher, Seong Jun berpindah ke dada Gyujin.

Awal-awalnya hanya kecupan-kecupan ringan sebagai bentuk penghargaan. Bagi Seong Jun, tubuh Gyujin adalah mahakarya yang begitu indah dan pantas mendapatkan penghargaan berupa kecupan kasih sayang di setiap incinya. Seong Jun menyesap puting Gyujin dengan kelaparan layaknya bayi yang meminta asi pada ibunya. Sementara tangan lain pria itu memilin puting Gyujin lainnya.

Gyujin melenguh sebagai bentuk respon atas rangsangan yang diberikan Seong Jun. Gyujin menolehkan kepalanya ke arah lain, enggan menonton apa yang Seong Jun lakukan pada tubuhnya. Kedua tangannya meremas sprei menahan ini semua. Ia benci melakukan hal tak senonoh ini dengan Seong Jun. Ia benci tak mampu menolak atau melawan Seong Jun untuk melakukan semua ini pada tubuhnya. Ia juga benci bagaimana otaknya menolak tapi tubuhnya berkata lain.

Seong Jun menarik celana pendek dan celana dalam yang Gyujin kenakan dalam satu tarikan. Kini Gyujin telanjang bulat. Seong Jun berdiri menggunakan lututnya di antara tubuh Gyujin yang terkulai lemah di atas kasur. Pada posisi ini melalui sudut matanya Gyujin mampu melihat Seong Jun dengan gagah di atas tubuhnya. Gerakan pria itu menyisir rambutnya ke belakang sungguh menggairahkan. Oh, jangan lupakan bahwa Seong Jun masih mengenakan celana panjang piyamanya.

Kapan lalu kegiatan bercinta mereka dilakukan segera setelah Seong Jun memasuki rumah yang masih lengkap menggunakan setelan jas kerja. Lalu bagaimana pergumulan panas itu terjadi di ruang televisi lantai satu dengan Gyujin yang telanjang bulat, sedangkan Seong Jun masih lengkap berbusana hanya penis pria itu yang keluar tak tertutupi. Seong Jun memaksa Gyujin untuk memasukkan penis pria itu ke dalam mulutnya dan menarik rambutnya kuat ke atas kasar hingga kulit kepalanya sakit. Gyujin dipaksa untuk memperhatikan Seong Jun dari bawah. Sungguh, pada saat itu Gyujin sadar jika penampilan Seong Jun merangsangnya dengan hebat. Penisnya seketika mengeras, lubangnya juga berkedut dengan ganas. Terekam jelas di otak Gyujin, ketika dirinya sibuk mengulum penis pria itu dan dipaksa melihat ke atas untuk memperhatikan bagaimana Seong Jun mulai melepas jas, dasi, hingga kemeja. Intinya penampilan Seong Jun hanya mengenakan celana panjang tanpa busana atasan sungguh seksi. Ah, membayangkannya saja membuat Gyujin terangsang dan malu. Pendingin ruangan jelas kalah melawan panasnya penampilan Seong Jun saat ini di mata Gyujin.

Seong Jun meraih lubricant yang terletak di nakas, melumuri telapak tangannya dan penis Gyujin yang ukurannya jelas jauh lebih kecil dibanding dengan milik Seong Jun.

“Kau menyebut ini penis? Ini terlalu kecil.”

Sialan. Gyujin selalu kesal ketika Seong Jun mengejek ukuran penisnya ketika keduanya bercinta meski itu sudah terjadi berkali-kali. Seong Jun menangkup penis itu dalam genggamannya, mengocoknya dengan cepat.

“Ngh,” lenguh Gyujin tertahan akibat dari rangsangan yang diberikan Seong Jun.

“Kenapa kamu selalu menahannya?”

Seong Jun memegang rahang Gyujin, memaksanya dengan kasar untuk menoleh ke atas menghadap dirinya.

“Tidak perlu menahannya, mendesahlah untukku,” ucap Seong Jun dengan seringaian khasnya. Seong Jun kembali melahap bibir merah muda itu dengan rakus sembari tangannya sibuk mengocok penis Gyujin. Terdengar desahan Gyujin di sela-sela ciuman basah mereka.

Berhenti. Otak Gyujin berpikir untuk berhenti tapi tubuhnya meminta untuk terus dilanjutkan hingga puncak. Sialan. Brengsek. Berbagai makian selalu Gyujin lontarkan dalam pikirannya setiap kali keduanya bercinta. Seong Jun menggerakkan tangannya lebih cepat, nafas Gyujin makin tak karuan. Gyujin menghembuskan nafas panjang kala ujung penisnya menyemburkan cairan putih lengket mengotori perut dan tangan Seong Jun. Seong Jun menjilat cairan yang ada di telapak tangannya tepat di hadapan Gyujin yang menunjukkan tatapan jijik.

“Kau cepat sekali keluar,” ejek Seong Jun dengan senyum menyebalkan. Pria itu melepas potongan kain yang menutupi tubuhnya. Penis besar dan berurat itu akhirnya terbebas dari jeratan kain. Meskipun, Gyujin tak pernah melihat penis alpha lain, tapi ia yakin penis Seong Jun lumayan besar besar dibanding alpha lainnya apalagi dibanding penis omega sepertinya tentu saja beda jauh. Berkali-kali penis itu menghajar lubangnya dengan kasar tak manusiawi layaknya binatang jantan yang birahi. Namun, tetap saja untuk ukuran penis Seong Jun yang mencoba masuk ke dalam lubangnya masih terasa sakit dan kesulitan.

Seong Jun pun juga sadar akan hal itu. Ia memang suka atau bahkan bergairah melihat Gyujin menangis atau menderita karena kendalinya. Termasuk menangis dan berteriak kesakitan saat penisnya mencoba masuk ke lubang Gyujin tanpa aba-aba atau pelumas seperti tiga pekan lalu. Namun, kali ini Seong Jun ingin membuka jalan lebih dulu dengan memasukkan jari telunjuknya yang lengket akibat cairan Gyujin.

“Ah,” desah lolos Gyujin.

Gerakan jari Seong Jun dipercepat keluar masuk. Gyujin memejamkan matanya, meremas kain sprei dan menggigit bibirnya lebih kuat. Seong Jun mengajak jari tengahnya untuk bergabung membuka jalan. Gila. Ini sungguh gila.

“Ngh,” lagi-lagi desahan yang tak dapat Gyujin tahan lolos dari mulutnya. Dua jari itu mengoyak lubangnya melakukan gerakan menggunting. Dahinya mulai berkeringat sebiji jagung akibat ulah jari Seong Jun. Gyujin mengutuk pendingin ruangan yang tak bekerja dengan baik. Ia tahu Seong Jun sengaja selalu mengatur pendingin ruangan pada suhu cukup dingin supaya dalam tidurnya Gyujin akan merangsek masuk tanpa pemuda itu sadari untuk mencari kehangatan di pelukan Seong Jun. Namun, kali ini sekujur tubuh Gyujin terasa panas padahal pendingin ruangan sudah menyala.

Seong Jun menambah jarinya. Kini tiga jari itu bersemayam dengan liar di lubang Gyujin. Oh, gila sudah Gyujin dibuatnya hanya dengan jari-jari panjang berurat itu.

“Nghhh,” desah Gyujin lebih panjang dan keras saat salah satu jari Seong Jun menyenggol satu titik yang menggetarkan seluruh tubuhnya.

“Apa itu di sini?” Seong Jun kembali menyenggol titik itu lagi membuat Gyujin kembali mengeluh tertahan. Seong Jun menggodanya dengan berkali-kali menyenggol titik itu. Frustasi. Itu yang Gyujin rasakan, ia ingin segera dipuaskan. Namun, Seong Jun tampaknya tak memiliki niat membantu Gyujin. Pria itu justru bermain-main dengan hasrat Gyujin. Tangannya mencoba meraih penisnya sendiri yang langsung dicekal oleh Seong Jun.

“Siapa yang mengizinkan menyentuh dirimu sendiri? Aku bisa mematahkan tanganmu,” ancam Seong Jun.

Gyujin menggelengkan kepalanya. Wajah frustasi Gyujin adalah hiburan yang menarik di mata Seong Jun. Oh, lihat bibir montok itu terbuka dengan saliva menetes, wajah Gyujin frustasi dan pasrah sungguh indah. Ancaman Seong Jun berhasil, Gyujin kembali meremas sprei dan menggigit bibirnya sekuat mungkin.

Jari Seong Jun masih setia menyentuh titik itu, bermain-main hingga tiba saat sedikit lagi Gyujin akan mencapai puncaknya menyeburkan cairan keduanya, Seong Jun mengeluarkan jarinya. Meninggalkan kekosongan hampa di lubang Gyujin. Bajingan. Umpat Gyujin dalam hati.

“Kau sudah keluar sekali, bagaimana bisa kamu mau keluar kedua kalinya, sementara aku belum keluar sama sekali.”

Seong Jun melumuri penisnya dengan cairan Gyujin yang mengotori perut pria kecil di bawahnya. Perlahan Seong Jun mengarahkan kepala penisnya ke lubang Gyujin, mendorongnya pelan. Itu bahkan belum ada setengahnya, Gyujin menangis. Indah. Mata rusa Gyujin yang menangis sungguh indah dan menggairahkan bagi Seong Jun. Mereka sudah berhubungan badan puluhan kali dan Gyujin selalu menangis setiap kali penis Seong Jun mencoba untuk pertama kali masuk lubangnya pada sesi bercinta mereka. Seong Jun mencoba lebih lembut dengan membuka jalan seperti yang ia lakukan tadi. Nahas, usahanya sia-sia Gyujin masih saja merasa kesakitan. Seong Jun sendiri juga heran, mungkin karena penisnya terlalu besar. Namun, bukankah seharusnya lubang itu juga sudah terbiasa dengan penisnya, Seong Jun sudah berinteraksi dengan lubang itu entah secara lembut atau layaknya binatang tak berakal. Lubang itu seolah tak kendur tetap kembali membungkus erat penisnya dengan kuat. Oleh karena itu, Gyujin selalu menangis kesakitan.

Jika Seong Jun memasukkan pelan-pelan itu justru memperpanjang durasi kesakitan Gyujin. Jadi, ia mendorong keras penisnya masuk keseluruhan dalam sekali hentakan.

“Ah,” desah kesakitan Gyujin. Air mata mengalir lebih deras dari mata rusa yang terpejam itu. Seong Jun menjilat air mata Gyujin yang mengalir di pipi tanpa rasa jijik sedikitpun. Seong Jun mengecup dahi, mata, hidung, dan berakhir meraup bibir montok Gyujin. Kedua tangannya sibuk memilin puting Gyujin. Hal ini Seong Jun lakukan untuk mengalihkan rasa sakit Gyujin pada lubangnya. Penis Seong Jun masih bersemayam dengan nyaman tanpa pergerakan menunggu hingga Gyujin terbiasa. Ah, sudah cukup. Puting Gyujin menegang, hasratnya kembali frustasi meminta untuk dipuaskan.

Seong Jun menyadari Gyujin tak lagi kesakitan. Jadi ia mulai bergerak pelan. Gyujin setia menolehkan kepalanya tiap kali keduanya bercinta dan menjeda ciuman mereka. Seong Jun memegang rahangnya, memaksa Gyujun melihat Seong Jun berkuasa penuh di atas tubuhnya.

“Kau harus melihat bagaimana tubuhmu memohon untuk diisi olehku,” ujar Seong Jun. Gyujin melirik ke bawah bagaimana penis Seong Jun disedot kuat oleh lubangnya. Ini memalukan. Selain alasan logika bencinya terhadap Seong Jun, terdapat alasan lain mengapa Gyujin kerap kali atau bahkan selalu menolehkan kepala. Ia enggan menatap Seong Jun setiap keduanya saling membuahi seperti saat ini kecuali jika Seong Jun memaksa Gyujin untuk melihatnya. Alasan lain itu sudah Gyujin sebutkan sebelumnya, Seong Jun tampak menggairahkan dari bawah sini. Tubuh alpha berotot yang terpahat dengan proporsi sempurna memiliki daya tarik membahayakan dan sulit untuk berpaling. Saking sulitnya, bahkan tanpa Seong Jun sadari Gyujin sering mencuri pandang melalui sudut matanya untuk melihat dada bidang yang naik turun akibat inti tubuh mereka yang saling menyatu. Oh, jangan lupakan udara panas yang mengelilingi tubuh mereka berakibat pada mengkilatnya dada Seong Jun karena keringat. Jika Gyujin mabuk kepayang oleh pesona Seong Jun, maka Gyujin tak akan menahan diri untuk menyentuh dada bidang itu atau bahkan lebih liar menjilatinya. Namun, ego Gyujin masih menang dan mampu menahan diri.

Pipi dan telinga Gyujin bersemu merah mendengar perkataan kotor Seong Jun. Ia menampik tangan Seong Jun yang menahan rahangnya. Gyujin kembali menolehkan kepala, menutupi wajahnya dengan satu punggung tangan untuk menyembunyikan rasa malu.

“Kenapa telingamu merah? Apa kamu malu?” goda Seong Jun. Jari telunjuk pria itu menyingkirkan anak rambut Gyujin. Seong Jun menggambar garis tak kasat mata dari pelipis hingga rahang Gyujin menggunakan jari telunjuk dan itu meningkatkan ketegangan di antara mereka berdua. Seong Jun menyeringai menyadari tubuh kecil itu gemetar dan telinganya lebih merah, godaanya berhasil.

Kini fokus Seong Jun kembali pada inti tubuh mereka yang menyatu. Kedua tangannya meremas pinggul Gyujin. Seong Jun mulai menaik turunkan pinggulnya, penisnya keluar hingga menyisakan kepala lalu mendorongnya kembali masuk dalam satu kali hentakan. Gerakan itu ia ulang berkali-kali.

Plok.

Suara tabrakan kulit manusia terdengar begitu erotis memenuhi kamar tidur utama rumah itu. Gyujin kalah menahan desahan nikmat dari persetubuhannya dengan Seong Jun. Kini desahan itu terdengar nyaring di telinga Seong Jun. Pria itu sudah hafal, Gyujin akan menahan desahannya tapi ketika inti tubuh mereka sudah menyatu pria kecil itu kewalahan, tak bisa menahannya. Desahan Gyujin bagaikan alunan lagu merdu yang semakin membuat hormon Seong Jun naik.

Seong Jun menghembuskan nafas kasar. Ia harus bergerak lebih cepat untuk menjemput pelepasannya. Gerakan Seong Jun yang lebih semangat diikuti oleh suara decitan kasur king size yang mereka tempati. Lagi-lagi Gyujin mencoba meraih penisnya mencoba menjemput pelepasannya lebih dulu.

“Tidak.”

Seong Jun memukul tangan Gyujin, sebagai gantinya ia membantu Gyujin mengocok penisnya. Seong Jun segera menutup ujung penis Gyujin dengan ibu jarinya tatkala tubuh Gyujin gemetar hendak melakukan pelepasan.

“K—kumohon.”

Gyujin memohon dengan wajah yang basah karena air mata. Oh, sungguh pemandangan yang menakjubkan, tapi Seong Jun tidak luluh. Ia kembali menggenjot lubang Gyujin lebih kasar lagi.

“Eughh.”

Desahan Gyujin sudah tak karuan, saliva menetes keluar dari mulutnya. Ini berlebihan. Gyujin ingin keluar sekarang. Seong Jun merasa penisnya membesar dalam lubang Gyujin. Ini saatnya. Cairan hangat itu menyembur deras di dalam perut Gyujin. Perut Gyujin kembali licin dan basah karena cairannya sendiri setelah Seong Jun menyingkirkan ibu jarinya.

“Huh,” helaan nafas kasar Seong Jun. Seong Jun membiarkan penisnya tetap berada di lubang Gyujin menuntaskan cairannya untuk keluar dalam lubang itu, memastikan semua cairan keluar di dalam. Seong Jun menahan beban tubuh menggunakan tangannya agar tak ambruk menimpa Gyujin. Seks dengan Gyujin selalu terasa hebat.

Seong Jun mengusap dahi Gyujin yang penuh dengan peluh. Menghujani wajah kecil pria itu dengan kecupan kasih sayang. Untuk beberapa detik, Seong Jun mengagumi bagaimana wajah Gyujin begitu cantik. Bintik-bintik coklat samar di sekitar bawah mata dan hidung Gyujin menambah kesan manis pada wajahnya. Merasa penisnya kembali ke ukuran normal, Seong Jun mencabutnya dari lubang Gyujin. Saking banyaknya cairan Seong Jun, lubang Gyujin tak mampu menampungnya hingga meluber keluar.

“Kita belum selesai, Sayang. Jangan tidur,” seru Seong Jun. Mata rusa itu perlahan kembali terbuka dengan sayu. Sungguh menggemaskan, Seong Jun tak tahan untuk mengecup pipi dan bibir Gyujin.

“Menungging,” titah Seong Jun. Ia menuntun Gyujin membalikkan badan, menekuk kedua lutut supaya bokongnya terangkat dengan kepala menempel pada kasur. Jujur, Gyujin benci posisi ini. Ia tidak bisa melihat wajah erotis Seong Jun yang menyetubuhinya. Namun, ia tak munafik posisi ini juga menyenangkan, penis Seong Jun bisa tenggelam dalam lubangnya secara maksimal dan itu sungguh nikmat.

Kedua telapak tangan Seong Jun dengan pas menangkup dua belah gundukan pantat Gyujin. Ini memang pas, tapi Seong Jun harap bokong Gyujin lebih gemuk sedikit mungkin terasa lebih seksi. Seong Jun meremasnya pelan, lalu melakukan gerakan memutar seolah menguleni adonan roti. Gyujin kembali menggigit bibirnya menahan desahan. Memalukan jika ia mendesah sekarang. Mereka memulai ronde kedua artinya mereka kembali dengan permulaan rangsangan-rangsangan ringan seperti ini. Harga diri Gyujin merasa tercoreng jika pada permulaan sederhana ini ia sudah keenakan sendiri.

Plak.

Suara tamparan yang Seong Jun lakukan pada pantat Gyujin. Pria berstatus alpha itu melakukannya berulang kali hingga pantat Gyujin yang awalnya berwarna seputih susu berubah kemerahan. Rasanya panas, Gyujin menghela nafas berat merasa perih pada bokongnya.

Kali ini tak ada penetrasi dari jari Seong Jun. Pria itu membuka belahan bokong Gyujin yang menampilkan lubang kemerahan basah cairannya sendiri yang masih keluar. Lubang itu berkedut minta diisi, mengundang penis Seong Jun untuk masuk. Libido Seong Jun naik melihat lubang Gyujin, penisnya mengeras dan ia segera memasukkan penis sepenuhnya ke dalam lubang Gyujin. Keduanya menghela nafas lega bersamaan. Jari telunjuk Seong Jun menggambar garis tak kasat mata mulai dari pinggul hingga leher Gyujin. Tangan besar itu berada dalam posisi mencekik Gyujin dari belakang, meski nyatanya tak sungguhan mencekik Gyujin.

“Gyujin-ah, ini begitu nikmat,” puji Seong Jun meremas pelan leher Gyujin dari belakang. Gyujin sedikit was-was takut apabila Seong Jun lepas kendali dan betulan mencekik Gyujin. Seong Jun mendongak, wajahnya mengekspresikan ia puas menikmati kenikmatan duniawi yang satu ini. Ia melepaskan tangannya dari leher Gyujin, kedua telapak tangannya kembali menangkup belahan pantat Gyujin dan membukanya.

Plok.

Suara kulit manusia yang saling beradu erotis kembali memenuhi ruangan. Seong Jun kembali menghujam lubang Gyujin. Lubang omega di bawahnya ini menyedot dengan kuat. Pucuk kepala Gyujin menabrak kepala tempat tidur karena hentakan kuat dari Seong Jun. Decitan tempat tidur juga kembali terdengar menunjukkan hebatnya persetubuhan antara Seong Jun dan Gyujin terjadi.

“Dasar jalang sialan, kenapa aku baru tau tubuh pelacurmu seenak ini. Seharusnya aku mencicipi tubuhmu dan mengikatnya sejak kita bisa saling mencium feromon satu sama lain di sekolah.”

Sering disetubuhi oleh Seong Jun tampaknya berdampak pada otak Gyujin. Gyujin tak bisa membedakan kalimat yang baru saja Seong Jun lontarkan adalah pujian atau hinaan. Omega itu kembali melenguh terangsang karena ucapan Sang Alpha. Seong Jun menampar kembali pantat Gyujin. Keduanya mendesah keras saat pelepasan masing-masing. Cairan hangat kembali memenuhi lubang Gyujin dan tubuhnya ambruk bersamaan dengan Seong Jun yang ikut ambruk di sampingnya.

Gyujin terlalu lelah memilih memejamkan mata dan masuk ke dalam dunia mimpi, tak mempedulikan lubangnya masih dipenuhi penis seorang alpha. Sedangkan, Seong Jun memeluk tubuh Gyujin dari belakang. Ia mengecup pelipis Gyujin dan mengusapnya dengan lembut.

“Tidurlah,” bisik Seong Jun.